Apakah anda mempunyai sahabat di setiap periode kehidupan? Saya begitu. Ada sahabat di masa SD, ada juga ketika di SMP, masa kuliah, ketika mulai bekerja, dan sekarang setelah menua. Tetapi tidak semua sahabat masa lalu bisa menjadi sahabat di masa kini.
Sahabat ketika saya masih SD dan SMP lenyap tak berbekas, entah menyebar kemana. Pernah mendengar salah satunya, yang perempuan menikah cepat setelah SMA. Selain itu tidak ada kabar.
Sedangkan sahabat SMA, ada yang masih dekat dan ada yang sudah bertolak belakang. Saya memutuskan untuk menjauhinya karena sudah berbeda pola pemikiran. Saya tidak menyukai sikapnya yang men-judge (menghakimi) padahal sudah lebih dari lima tahun tidak bertemu.Â
Teman ini, tidak mengetahui track record saya selama beberapa tahun, tidak mengetahui bagaimana perjalanan hidup dan pengalaman spiritual saya. Kemudian dia menilai saya tidak dekat dengan Tuhan. Aih, betapa beraninya dia menilai seperti itu. Tidak pernah kontak, tidak melihat eksistensi saya di media sosial dan media massa, melihat dengan kacamata kuda.Â
Dia memang sudah meminta maaf. Saya bisa memaafkan, tetapi untuk membuat hubungan menjadi dekat, tidak bisa. Bagi saya sudah cukup cerita masa lalu, dia bukan bagian dari cerita saya masa kini. Dia berpotensi sebagai toxic (racun) yang menggangu ketenteraman hidup saya.
Lalu ada teman kuliah yang dulu sangat dekat dan saya anggap sebagai sahabat. Tetapi ada saat dimana hati saya langsung jleb, tidak mau dekat dengan dia lagi. Waktu itu saya dalam keadaan berduka, ibunda baru meninggal dunia. Dia datang takziah bersama yang lain. Eh, dia malah bilang jika saya menerima warisan, mau pinjam uang untuk usaha.
Bagi saya itu sangat tidak beretika alias kurang ajar. Saya dalam suasana duka, sama sekali tidak memikirkan warisan, kok dia justru mengincar warisan saya untuk usaha dia. Saya sendiri tidak peduli dengan warisan. Sebaik-baik harta adalah usaha sendiri, bukan warisan atau pemberian. Sejak itu saya menjauhi dia.
Satu lagi teman kuliah, yang dahulu selalu datang saat dia sedang susah, meminta bantuan, terutama soal ekonomi. Sejak saya pindah rumah lebih dari 10 tahun ternyata dia mencari saya. Baru bertemu kembali ketika dia melihat Facebook.
Namun yang membuat saya tidak gembira bertemu dia adalah karena mencari saya tetap dalam usaha meminta bantuan. Duh, kenapa mengeluhkan suaminya sedangkan dia dahulu yang memilih laki-laki itu. Saya tidak antusias mendengarkan setiap keluhan. Karena ujungnya pasti minta bantuan. Sudah puluhan tahun belum juga berubah.
Dia minta bertemu, sudah saya ajukan sekali sebelum Desember. Eh mendadak dia tidak bisa. Nah bukan salah saya jika berikutnya saya tolak. Dia ingin main ke rumah, saya tidak suka. Dia bisa seharian main menyita waktu dan iseng. Padahal rumah adalah tempat privasi bagi saya untuk tenang dan berpikir.
Lagipula saya sendiri juga sedang menghadapi beberapa masalah keluarga. Musibah yang melanda keluarga, meninggalnya keponakan dan kakak yang terkena kanker. Saya tidak mau membalas pesannya lagi.Â