"Selamun Aleykum," ia mengucapkan salam dengan hormat dan sopan. Aku segera menjawab salam tersebut.
"Aleykum selam. Ada apakah tuan kemari?"
Ia tersenyum manis sehingga menampakkan deretan giginya yang putih berbaris rapi.
"Maaf, saya datang ke tempat anda karena mencium bau masakan yang sedap. Ini sudah saatnya sahur, saya juga ingin berpuasa. Bolehkah saya meminta makanan? Saya dalam perjalanan tugas dari Suriah".
Aku terpana, tapi tak urung mengiyakan. Entah mengapa aku tidak berpikir panjang.Â
"Boleh, boleh. Silakan masuk. Makanan sudah siap di meja." Aku menunjuk ke kursi.Â
Ia melangkah tegap ke kursi di depan televisi. Aku kembali menutup pintu. Sepintas aku melihat sebuah mobil khas tentara Turki bertuliskan Jandarma. Mobil itu parkir di depan gedung apartemen. Kenapa aku tidak mendengar deru mesin mobil? Mungkin karena di dapur berisik dengan suara kompor.
Kami duduk berhadapan. Ia mengambil mangkuk dan menuang Corba. Setelah itu menjangkau roti dan mengisinya dengan telur serta selada. Aku senang melihatnya makan dengan lahap, tanpa sungkan sedikitpun.
Selama makan ia tidak berbicara sepatah kata pun. Aku tidak ingin mengganggunya. Mungkin dia terlalu lelah dan kelaparan setelah pulang dari medan perang.Â
Diam-diam aku memperhatikan tentara di hadapanku ini. Seperti kebanyakan sosok tentara, ia tinggi, gagah dan tegap. Wajah tampan dengan hidung mancung dan sorot mata yang tajam.
Dengan cepat ia menghabiskan makanannya. Padahal aku baru makan separuh roti. Melihat dia berdiri, roti itu spontan kuletakkan lagi di atas piring.