Aku tengah mereguk kopi saat mentari bergulir ke batas langit. Angin laut semakin kencang bertiup, mengibarkan pakaian yang aku kenakan. Senja mulai memerah. Tegukan terakhir melewati leherku ketika kudengar langkah kaki di belakang.
Spontan aku membalikkan tubuh. Kudapati kau berdiri mematung dengan wajah pucat. Aku menarik nafas panjang untuk meredakan debaran di dada. Kau masih setampan yang dulu. Meski tampak beberapa kerutan di sudut matamu.
"Kenapa kau jauh-jauh kemari?"
"Aku ingin mengajakmu pulang. Kita wujudkan impian yang dulu," jawabmu dengan suara bergetar.
"Aku sudah tak punya impian bersamamu. Pulanglah, aku tidak menginginkan dirimu."
"Sudilah kau memaafkan aku, untuk semua luka yang aku buat," nada suaramu memelas.
Aku memalingkan wajah ke arah langit yang dipenuhi awan kemerahan. Bias sinarnya memantul di permukaan ombak. Lalu aku berkata perlahan.
"Dulu kau telah memilih,"
"Aku terpaksa," suaramu terdengar lirih. "Istriku telah meninggal. Kini ada kesempatan bagi kita untuk hidup bersama."
"Aku bukan cadangan. Sekarang giliranku memilih. Biarkanlah aku tenang dan bahagia di sini," aku menjawab datar.
Aku menatap matanya lekat-lekat. "Pulanglah ke tanah air. Jangan temui aku lagi."