Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerita tentang Hujan) Kau yang Berlari di Antara Gerimis

8 Februari 2020   10:48 Diperbarui: 8 Februari 2020   10:51 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lewat tengah hari ketika bus yang aku tumpangi masuk ke Otogar,  terminal besar  Istanbul bagian Eropa. Hujan tercurah deras menyambut kedatanganku. 

Sekali lagi aku membaca pesan dari Ibrahim, lelaki Turki yang menemaniku selama di Dogubeyazid.  Ibrahim setiap satu jam sekali memantau perjalananku sehingga aku merasa menjadi anak kecil yang diawasi ayahnya.

"Jangan kemana-mana, tunggu saja di depan kantor biro travel itu. Nanti anakku akan datang menjemput,' begitu bunyi pesan terakhir.

Aku ragu-ragu untuk menunggu putra dari Ibrahim. Apakah aku harus menerima perjodohannya? Lelaki setengah baya ini sangat menyukai aku sehingga menginginkan aku menjadi menantu.

Padahal aku bukan tipe orang yang suka dijodohkan. Aku butuh waktu yang lama untuk menyukai seseorang, apalagi untuk jatuh cinta.  Sebetulnya aku tidak serius mengatakan iya saat Ibrahim menyodorkan sehelai foto putranya. Meskipun dalam foto itu tampak wajah seorang lelaki muda yang tampan.

Hujan semakin deras, para penumpang berbasah-basah sambil menyeret kopernya. Aku hanya menyandang ransel sambil memperhatikan mereka. Ah, apakah aku akan menunggu orang yang tidak aku kenal?

Kegelisahan mulai menyerang, buat apa aku menunggu sesuatu yang tidak pasti? Mungkin dia tidak datang karena hujan. Setengah jam berlalu, rasanya sudah lama. Aku memang bukan orang yang senang menunggu.

Akhirnya aku berlari menembus hujan sambil menutupi kepala dengan jaket.  Aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke stasiun kereta metro di bawah tanah. 

Lega rasanya menyusuri stasiun metro. Mudah-mudahan Ibrahim tidak marah karena aku tidak ingin bertemu putranya. Aku duduk di kursi menunggu kedatangan kereta.

Tetiba telepon genggam berdering, Ibrahim. Dengan enggan aku mengangkatnya.

"Kau dimana? Anakku mencari-cari?"

"Di stasiun metro," akhirnya aku mengaku.

"Jangan pindah lagi, tetap di situ sampai anakku datang.' perintahnya.

Waduh, aku sulit melarikan diri. Aku kehilangan akal mau berbuat apa. Selagi aku termangu, aku melihat sesosok pria menuruni anak tangga dan bergegas berjalan ke arahku. Ia sambil berbicara dengan telepon genggamnya.

"Rani?" Tanyanya sambil tersenyum. 

Aku mengangguk perlahan. Rupanya dia adalah putra Ibrahim. Aku memperhatikan sejenak lelaki muda yang berdiri di hadapanku, raut wajahnya tampan dengan jenggot bersih habis dicukur.

"Aku Fatih, putra Ibrahim," ia menyodorkan tangan. Kami pun bersalaman.

Tak berapa lama kemudian aku sudah mengikuti langkahnya. Kami kembali naik ke atas. Ia akan membawaku ke rumah keluarga. Untuk itu kami harus menggunakan bus kota.

Kami pun berlarian di antara hujan. Ia tak segan menarik tanganku sambil mengajak berbincang seakan sudah lama berkenalan.  Ia membawakan ransel sehingga langkahku lebih ringan. 

Duduk berdampingan di dalam bus kota dengan lelaki ini membuat aku merasa aneh. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang sedang aku perbuat? Apa yang sedang aku alami?

Hujan justru semakin deras ketika kami turun dari bus kota. 

"Mau berteduh dulu?" Fatih menawarkan.

Aku menggeleng,"sudah terlanjur basah'. 

Maka kami pun berjalan dalam hujan. Wajahnya tampak gembira, entah kenapa. Sedangkan pikiran masih berkecamuk di kepalaku.

Kami memasuki sebuah bangunan apartemen. Ya, di Istanbul kebanyakan rumah penduduk adalah di apartemen. Hanya orang-orang kaya dan pejabat yang memiliki rumah. Maklum harga rumah sangat mahal.

Seorang ibu yang ramah menyambut. Dia, sebagaimana wanita Turki lainnya,  bertubuh gemuk dan gesit mengurus pekerjaan rumah. Sayangnya dia tak bisa berbahasa Inggris, Fatih menjadi perantara komunikasi di antara kami. 

Lalu aku menjadi bagian dari keluarga Fatih. Makan bersama, nonton TV bersama, dan bercanda. Segalanya berlangsung alami seperti sudah biasa terjadi.

Fatih memang lelaki yang baik. Ia rajin membantu ibunya dalam pekerjaan rumah tangga. Dia pun pandai memasak, yang membuat aku bertambah salut. Jujur aku suka masakan dia.

Namun pertarungan di kepalaku tidak pernah berhenti. Apakah aku akan berhenti di sini? Padahal aku belum bisa memastikan perasaan ini. Sementara tugas-tugas masih menunggu di tanah air. 

Pada suatu malam, aku mengatakan akan kembali ke Indonesia. Ia terkejut.

"Kenapa? Kau tak suka di sini?"

"Bukan begitu, aku harus menyelesaikan tugas," aku berusaha menjelaskan.

Fatih tampak muram. Ia telah membayangkan untuk membangun masa depan bersamaku. Apalagi seluruh keluarga merestui.

"Tidak, kau tak boleh pergi. Kau tinggal bersamaku di sini," katanya keras.

Aku bingung. Dia tak mau mendengarkan alasanku. Sementara aku merasa waktu yang singkat ini tidak cukup untuk merencanakan masa depan. 

Aku bertekad untuk pulang. Tiket pesawat telah dipesan dengan diam-diam. Pada hari H aku mengirimkan pesan kepada Ibrahim bahwa aku akan pulang. Saat Fatih berangkat bekerja, aku mengangkat ransel. Aku pun pamit pada ibu Fatih yang tampak kebingungan. 

Aku tiba di airport dua jam sebelum waktu keberangkatan. Gerimis mengiringi selama perjalanan ke bandara ini. Untunglah aku menggunakan taksi sehingga tidak perlu kehujanan.

Tetapi saat mau memasuki pintu lobby aku mendengar seseorang meneriakkan namaku. Aku menoleh. Ya Tuhan, itu Fatih.

Fatih berlarian di antara gerimis dari arah parkiran mobil menuju tempat aku berdiri. Aku terkejut, langsung berbalik mempercepat langkah menuju pintu masuk bandara. 

"Rani, tunggu. Jangan pergi," teriak lelaki muda itu. Aku memperlihatkan tiket pada petugas bandara, lalu berlari masuk.

Fatih berteriak sekencang kencangnya memanggil. Aku menulikan telinga menuju meja check in. Petugas melarang dia masuk. Ia seperti kesurupan memanggil-manggil namaku. 

Dan aku melihat wajahnya di balik kaca. Matanya yang kehijauan itu mengalirkan air seperti gerimis yang jatuh dari langit. Aku menguatkan hati, melangkah ke ruang keberangkatan tanpa menoleh lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun