Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan berniat akan menghidupkan kembali hukuman mati di negara tersebut. Â Hal itu dipicu masalah pembunuhan yang dilakukan seorang mantan suami kepada seorang wanita bernama Emine Bulut di depan putrinya yang baru berusia 10 tahun.Â
Masyarakat tengah dilanda kemarahan karena perilaku brutal laki-laki tersebut. Â Peristiwa yang terjadi pada tanggal 23 Agustus yang lalu, terjadi di sebuah kafe, di mana mantan suami Emine Bulut mengejar dan menggorok lehernya. Padahal ada putrinya menyaksikan tragedi itu.
Gadis kecil itu histeris minta agar ibunya tidak mati, tetapi ia tidak dapat diselamatkan. Video rekaman dari kafe tersebut diunggah ke media sosial sehingga menyulut kemarahan masyarakat. Mereka tidak lagi bisa mentolerir kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan.
Dalam catatan kriminal, sebanyak 214 perempuan Turki  terbunuh oleh pria dalam enam bulan pertama  2019. Sedangkan tahun lalu, ada  440 wanita terbunuh. Dan tahun sebelumnya 409 wanita serta 121 orang pada tahun  2011. Setiap tahun, angka pembunuhan terhadap wanita meningkat.
Hal ini mengundang keprihatinan Erdogan. Karena itu, untuk melindungi kaum wanita, Pemerintah Turki mengajukan proposal dibuatnya Undang-undang hukuman mati yang mengacu pada hukuman Qishas. Jika parlemen meloloskan undang-undang tersebut, maka Erdogan akan segera menerapkannya.
Menteri Kehakiman Turki  Abdullah Gul mengambil langkah-langkah untuk memberikan hukuman yang setimpal bagi pembunuh Emine Bulut. Ia mengatakan bahwa pembunuhan wanita sangat tidak manusiawi. Pengadilan pertama untuk kasus ini akan berlangsung pada tanggal 9 September dan diikuti oleh sekitar 60 orang pengacara.
Namun rencana pemberlakuan hukuman mati oleh Erdogan diperkirakan akan menuai protes dari kelompok hak asasi manusia yang didengungkan oleh dunia Barat. Terutama dari negara-negara Eropa yang paling berdekatan dengan Turki. Â Erdogan tidak akan gentar, ia harus membela kaum perempuan yang menjadi korban seperti Emine Bulut.
Sebenarnya, di beberapa negara bagian Amerika Serikat, hukuman mati juga masih dilakukan. Begitu pula di negara-negara lain, baik di Timur Tengah maupun Asia dan Afrika. Â Karena itu, Erdogan juga meminta agar hukuman mati kembali dihidupkan di Selandia Baru untuk kasus penembakan di Masjid ataupun serangan Islamophobia lainnya.
Aktivis  liberal melancarkan kampanye untuk menentang hukuman mati ini. Mereka meluncurkan tagar #idamcozumdegil (hukuman mati bukan solusi) yang gencar di media sosial di Turki. Menurut mereka, menempatkan hukuman mati dalam agenda parlemen adalah kemunduran dari modernitas.Â
Dahulu Turki menghapus hukuman mati sebagai persyaratan untuk menjadi anggota Uni Eropa. Tetapi ternyata hal itu sia-sia, malah membuat kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Hukuman mati terakhir dilaksanakan pada tahun 1984.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H