Sungguh saya heran membaca berita bahwa Setya Novanto bisa keluar dari penjara Gunung Sindur. Ia kembali ke lapas Sukamiskin di Bandung.
Alasannya, tahanan kasus korupsi E-KTP tersebut tidak betah karena dikelilingi narapidana narkoba dan kriminal lainnya. Bukankah itu memang sudah resiko yang harus dijalani setelah pelanggaran jalan-jalan di luar lapas?
Kasus ini terasa janggal, masalahnya narapidana lain tidak pernah diperkenankan keluar atau pindah dari Gunung Sindur. Jika sudah masuk ke sana, tamat riwayatnya, tak bisa berbuat apa-apa.
Maka bolehlah jika kita curiga apakah ada deal tersendiri antara Setya Novanto dengan aparat hukum. Jika dia bisa keluar dari lapas yang super ketat tersebut, tentu yang bermain tidak lagi selevel kepala lapas.
Orang sekaliber Setya Novanto, pasti bernegosiasi dengan pejabat hukum tertinggi. Ingat, ia anggota DPR, tokoh partai dan memiliki kekayaan yang sulit dihitung.
Deal dengan pejabat hukum di tataran tertinggi memang tidak murah. Tapi buat Setya Novanto, tidak masalah, yang penting ia bisa menghirup udara segar, ketimbang pengap di Gunung Sindur.
Nah, pikirkanlah kalau Setya Novanto mampu membeli hukum pada tataran tertinggi, baginya sangat mudah mengatur pejabat sekelas lapas Sukamiskin. Bukan tidak mungkin ia akan mendapat previledge lagi, bebas kemana-mana asal mau membayar.
Lalu apa kabar dengan Gayus Tambunan? Adakah dahulu ia sempat memainkan peran seperti Setya Novanto. Jangan jangan dia juga sudah tidak berada di Gunung Sindur, lenyap entah kemana.
Kita tidak pernah mendengar siapa saja orang penting yang berada dalam lapas Gunung Sindur. Daftar narapidana yang berada di sana sulit diketahui dan tidak pernah dipublikasikan.
Gunung Sindur bisa jadi bukan merupakan lapas yang bebas kepentingan. Bagaimana pun juga, semua lapas tetap berada di bawah pengayoman Kemenkumham.
Jadi, selama Kemenkumham tidak berniat sungguh-sungguh memberantas mafia lapas, narapidana sekelas apapun bisa bertindak bebas. Transaksi hukum akan berlangsung terus menerus.