Liburan sekolah yang masih panjang membuat banyak orang tua mengajak anak anaknya keluar kota. Kebetulan kakak dari ipar saya tetiba datang jauh-jauh dari Cepu. Dia sudah belasan tahun tidak pernah menginjak Jakarta. Anak satu-satunya ingin sekali melihat keramaian ibukota.
Masalahnya, tidak ada yang bisa mengantar anak itu jalan jalan. Kedua keponakan saya sudah bekerja. Jadi dia uring-uringan, karena dibawa ke rumah Citayam yang masih kampung. Padahal dia ingin menyaksikan gedung gedung tinggi sebagaimana yang dilihatnya selama ini di televisi.
Karena tidak tega, masa sudah jauh jauh tidak bisa melihat Jakarta, maka saya mengajak dia untuk pergi ke tengah kota Jakarta. Dia gembira bukan kepalang ketika saya menjanjikan akan membawa dia ke Jakarta. Orangtuanya juga bahagia karena akhirnya mimpi sang anak bisa menjadi kenyataan.
Nah, pada hari Rabu kemarin, saya mengajak Azhar, anak tersebut naik Commuter Line. Kami berangkat dari stasiun Citayam sekitar pukul 10 pagi. Tetapi karena ada antrian lama di Manggarai, akhirnya pada saat adzan Lohor baru tiba ke stasiun Gondangdia.
Turun di stasiun Gondangdia, Azhar minta beli cilok dan minum. Setelah itu baru perjalanan dilanjutkan. Saya memesan ojek online menuju Monas yang letaknya memang tidak jauh dari stasiun Gondangdia. Kami masuk area Monas dari sisi Merdeka Selatan, yang mengarah ke patung kuda.
Di sana anak ini tampak excited memperhatikan Monas dan mendengarkan keterangan saya. Ia tidak banyak bicara, tapi saya tahu dari sinar matanya bahwa ia merasa takjub berada di tempat ini. Ketika saya suruh berpose, dia bergaya ala ala, biasa seperti tingkah ABG. Oh ya, dia baru kelas 6 SD.
Lalu saya ajak dia berjalan mengelilingi Monas menuju pintu masuk ke arah monumen yang ada di sisi Barat. Di sana antrian cukup panjang, maklum masih liburan, banyak orangtua dan anak anaknya datang menghabiskan liburan. Tiket harus membeli Jakcard, seharga 35 ribu untuk satu dewasa dan satu anak anak.
Sayang untuk menuju ke puncak Monas, tiketnya sudah habis. Memang tidak bisa terlalu banyak, dan juga antriannya lama. Lift dalam tiang Monas sangat kecil dan terbatas. Sementara itu usia Monas juga sudah tua, kalau melebihi kapasitas, bisa runtuh nantinya.
Maka kami melihat lihat museum sejarah berupa diorama di bawah tanah. Di sana saya sambil menjelaskan apa yang terlihat dalam diorama. Seringkali dia bertanya,"Apa itu seperti zaman dahulu, tante?" (dalam bahasa Jawa yang cukup medok). Saya mengiyakan sambil tersenyum.
Setelah itu kami naik ke atas cawan Monas. Panas terik, tapi tetap bersemangat. Saya foto dia dengan latar belakang Istiqlal dan juga gedung DKI. Saya menerangkan tentang masjid terbesar milik negara kita itu. Azhar bertanya apakah boleh tinggal di sana. Saya jawab, Istiqlal terbuka untuk ibadah siapa saja.