Ada peraturan baru yang diberlakukan untuk orang orang yang ingin bepergian ke Amerika Serikat. Peraturan itu adalah mencantumkan akun media sosial yang dimiliki oleh orang tersebut.
Ini merupakan rentetan kebijakan Donald Trump yang ketat dalam membatasi pengunjung yang tidak diinginkan. Tetapi menjadi buah simalakama bagi Amerika Serikat sendiri.
Dari sisi traveller, jelas peraturan ini menyulitkan. Mereka akan diperiksa secara detail, bagaimana mereka bertingkah di media sosial. Terutama yang sering bersikap kritis kepada Amerika Serikat.
Jika akun mereka ditengarai sebagai antek teroris atau terindikasi berhubungan dengan terorisme (versi AS), tentu mereka tidak akan mendapatkan visa. Meskipun tujuan mereka adalah urusan belajar atau bisnis, mereka tetap masuk dalam daftar hitam.
Orang Indonesia termasuk daftar yang dicurigai sebagai teroris. Apalagi jika penampilan mengenakan hijab atau gamis dan menyandang nama yang ke-arabarab-an. Jika lelaki, dengan jenggot dan jidat hitam akan sulit memasuki Amerika Serikat.
Peraturan tersebut juga mirip pula dengan Arab Saudi yang diam diam juga mengamati akun media sosial setiap orang yang berkunjung. Kerajaan yang sangat anti kritik ini, bisa menculik orang yang dicurigai sebagai musuh kerajaan.
Dalam hal ini, orang seperti saya yang sering menulis tentang Amerika Serikat dan Timur Tengah, harus mawas diri. Untunglah Amerika Serikat bukan negara yang saya inginkan untuk berkunjung.
Maka orang orang Indonesia yang memang memiliki urusan tertentu di negeri Paman Sam, harus lebih berhati-hati menulis konten atau status di media sosial. Bisa bisa tidak bakal mendapat visa yang dibutuhkan.
Namun peraturan ini bisa menjadi senjata makan tuan bagi Amerika Serikat. Jika kunjungan wisatawan dan pebisnis merosot drastis, akan mengurangi devisa yang masuk sebagai penerimaan negara.
Sebenarnya, banyak pebisnis, wisatawan dan pelajar dari negara negara Asia Afrika yang datang ke Amerika Serikat. Kalau mereka dipersulit dan tidak bisa masuk karena peraturan tersebut, akan mempengaruhi stabilitas ekonomi Amerika Serikat.
Namun Donald Trump memang lebih suka menjual senjata sebagai penerimaan terbesar pendapatan negara. Ia tidak terlalu peduli dengan pariwisata, pendidikan, bahkan juga bisnis di luar kepentingan dia.