Pemilu dari masa ke masa, masih belum bersih dari kecurangan. Meski peraturan berusaha diperketat, ada saja celah yang bisa dimanfaatkan orang orang tertentu.
Entah karena teramat cerdas atau terlalu licik. Tetapi yang jelas, kecurangan itu baru bisa terjadi jika ada dua pihak (minimal) yang sepakat melakukan kecurangan.
Kalau ibukota Jakarta, boleh dibilang nyaris sulit untuk berbuat curang. Terlalu banyak orang yang mengawasi, dengan berbagai teknologi sehingga mudah ketahuan.
Namun tidak demikian dengan pelaksanaan pemilu di daerah daerah, terutama tempat terpencil. Perhitungan suara bisa berubah secara drastis karena celah celah yang terbuka tadi.
Sebetulnya praktik kecurangan ini sudah dimulai dari zaman Orba. Warisan yang menjadi budaya, terutama dari kader kader Golkar.
Apa dan bagaimana kecurangan seputar Perhitungan Suara, sbb:Â
1. Perhitungan suara fiktif. Hal ini terjadi di wilayah terpencil, dimana para penduduknya sangat naif. Bahkan mereka banyak yang tidak bisa baca tulis. Misalnya suku suku di hutan dan puncak gunung.
Biasanya, kepala desa memanfaatkan kepolosan ini untuk memenangkan partai yang membayarnya. Kepala desa tersebut cukup menghitung jumlah penduduk, lalu dia dan stafnya mencoblos sesuai jumlah suara.
Ada pula, penduduk desa yang digiring ke TPS, tetapi sudah diarahkan untuk memilih siapa. Mereka tidak pernah mengenal siapa pemimpin yang bakal terpilih.
Kalau anda bertanya, kok zaman sudah maju masih ada yang begitu? Lho, negara kita ini sangat luas, belum semua penduduk dapat mengikuti perkembangan zaman.