Tanjung Pinang yang ada di pulau Bintan sejatinya adalah ibukota Kepulauan Riau. Tanjung Pinang dikenal sebagai bumi Gurindam 12 karya Raja Ali Haji. Sayang masih banyak yang mengira bahwa Batam yang menjadi ibukota. Padahal Batam adalah pusat bisnis, bukan ibukota provinsi.
Saya lebih sering ke Tanjung Pinang, karena di sana ada keluarga dari kakak pertama. Rumahnya tidak jauh dari bandara Raja Ali Haji Tanjung Pinang. Melewati markas Angkatan Udara menuju Kijang. Oh ya, kamu bisa cek tiket pesawat ke sini dengan Pegipegi yuk.Â
Saya paling suka ngintip promo tiket pesawat di Pegipegi, supaya hemat, bisa kemana saja tanpa menguras banyak uang. Makanya coba deh kamu rajin-rajin melihat akun sosmed Pegipegi yuk di facebook Pegipegi, di instagram @pegi_pegi dan twitter @pegi_pegi. Lebih gampang lagi kalau donlot aplikasinya.
 Salah satu hobi saya adalah jalan-jalan dengan menggunakan motor. Maklum di Tanjung Pinang tidak banyak angkot yang tersedia, trayeknya terbatas dan kalau sore hari sudah menghilang dari jalan raya. Padahal, tempat wisata di pulau Bintan ini banyak banget.
Belum tahu ya, kalau pantai Lagoi di pulau Bintan dijuluki 'Bali-nya' Kepulauan Riau. Makanya jelajahi Indonesiamu, jangan cuma nongkrong di cafe atau membanggakan negara lain. Kalau belum menjelajahi Indonesiamu, boleh dibilang kamu belum mengenal Indonesia.
Pulau Bintan bisa menjadi tempat wisata pilihan untuk liburan akhir tahun kamu atau liburan Tahun Baru. Meriah banget lho di sini, kamu gak bakalan nyesel. Wisata Indonesia memang yang terbaik. Â Dan ini sudah diakui oleh dunia internasional.Â
Saya yang sudah menjelajahi Indonesiamu dari Barat sampai Ke timur, berani menjamin bahwa Wisata Indonesia tiada bandingnya. Terutama alamnya yang masih belum banyak tersentuh tangantangan manusia. Sangat indah. Teman saya dari Turki, malah gak mau pulang, asyik menjelajahi Indonesiamu.
Naik sepeda motor di pulau Bintan adalah pilihan terbaik, paling praktis, mudah, cepat dan hemat. Tetapi saya selalu 'memanfaatkan' keponakan tercinta. Dia yang menyetir, sedangkan saya hanya membonceng. Selama ini kami bersenang-senang dengan berkendara sepeda motor.
Nah, di sekitar kota Tanjung Pinang ada lho tempat wisata gratis yang unik dan menarik. Â Saya suka sekali. Terutama datang ke kelenteng-kelenteng yang bervariasi bentuk dan luasnya. Â Dari yang paling terkenal, sampai yang tersembunyi.
Perlu diketahui, Pulau Bintan mendapat julukan pulau seribu kelenteng. Kaum Tionghoa di sini telah bermukim di sini berabad-abad yang lalu. Karena itu kelenteng pun ada dimana-mana. Bahkan di kebun milik kakak saya, ada sebuah kelenteng kecil, bekas pemilik kebun yang terdahulu.
Pada suatu hari, saya dan keponakan bete di rumah. Lantas motorpun dikeluarkan dari kandangnya. Sebagaimana biasa, cukup dengan pakaian sporty dan membawa bekal air minum putih serta pakaian ganti. Oh ya, udara di Tanjung Pinang ini cukup panas dan sering membuat haus.
Kami bermaksud ke tiga tempat, dan pulang setelah maghrib. Dua tujuan adalah kelenteng yang cukup terkenal, setelah itu berakhir di tepi laut Tanjung Pinang. Maka kami melaju dengan sepeda motor di jalan raya yang tidak terlalu sibuk.
Kami berdua senang ngebut (jangan ditiru lho). Meski jalanan berlubang, enggan untuk menginjak rem. Kadang-kadang terloncat-loncat dari sadel. Kami hanya menikmatinya sambil tertawa-tawa. Begitulah kelakuan pemotor yang norak.
Kelenteng Avalokitesvara Graha
Tujuan pertama adalah kelenteng Avalokitesvara Graha, yang lokasinya hanya 14 km dari pusat kota Tanjung Pinang. Terletak di jalan raya WR Supratman yang menuju Tanjung Uban. Kelenteng ini adalah termasuk yang terbesar di Asia Tenggara, luas dan megah.
Vihara atau kelenteng ini menjadi pusat belajar biksu dari Malaysia, Singapura dan Thailand. Bahkan ada juga yang datang dari Tiongkok. Â Saya melihat beberapa biksu yang sedang merawat tanaman, dan ada juga yang sedang membersihkan halaman.
Di hari-hari libur, banyak wisatawan yang datang dari dalam dan luar negeri. Tetapi karena saya datang pada hari kerja, maka kelenteng ini cukup sepi. Ada sih yang datang beberapa orang lagi, mereka adalah pasangan muda yang sedang berpacaran.
Ada taman dan kolam kecil di depan bangunan vihara. Banyak juga patung-patung di sini. Berhubung saya tidak begitu hafal dewa dan dewi dari  etnis Tionghoa, saya hanya berfoto dengan salah satu patung yang tidak saya kenal.
Di dalam bangunan utama ada patung Dewi Kuan Yin Phu Sha dalam ukuran sangat besar, terbuat dari tembaga seberat 40 ton dan dilapisi emas. Berhubung lagi ada peribadatan, saya tidak berani masuk, kuatir mengganggu para biksu. Saya hanya memperhatikan dari luar.
Puas menikmati vihara yang diresmikan Menteri Agama pada tahun 2009 ini, saya mengajak keponakan untuk meninggalkan tempat tersebut. Kami pun kembali menyusuri jalan raya, menuju Senggarang. Ada vihara tua yang sangat terkenal, jaraknya sekitar satu jam naik motor dari pusat kota.
Kelenteng Senggarang
Kelenteng Senggarang atau juga dikenal dengan nama Vihara Dharma Sasana, berada di pinggir laut. Sebenarnya bisa juga dicapai dengan perahu pompom selama 20 menit dari pelabuhan Tanjung PInang. Sedangkan dengan motor melalui beberapa desa dan hutan kecil.
Kawasan kelenteng dipagari dengan tembok tinggi yang berhiaskan lambang shio dan bintang. Â Tetapi pintu gerbang selalu terbuka untuk umum. Ada empat bangunan utama di sini. Rata-rata dengan ciri khas ornamen berwarna merah dan emas. Â Selalu tampak cantik dan meriah.Â
Di sisi kiri ada dua kolam ikan berisi ratusan ikan koi (ikan keberuntungan) dan beberapa patung dewa-dewi. Saya mengenali Dewi Kwan Im dan Dewa Ruci di tengah kolam. Sedangkan di halaman depan, ada panggung tempat peragaan upacara tradisional dan kebudayaan Tionghoa.
Kami naik tangga lagi untuk halaman di atasnya. Di sini bahkan kita bisa menemukan patung Sun Go Kong dan teman-temannya. Nah, para penggemar film monyet sakti itu tentu merasa kegirangan bisa berfoto dengan mereka.
Saya lebih tertarik pada patung dewa dan dewi yang begitu megah di halaman paling belakang. Dewa bertangan seribu tampak begitu menarik. Patung-patung ini diberi pagar rendah sebagai batas agar tidak boleh dilampaui oleh para pengunjung.
Tanpa terasa kami menghabiskan waktu cukup lama. Rasa haus menyengat. Udara panas dan kehabisan energi membutuhkan cairan lebih banyak. Akhirnya kami membeli kelapa muda, masing-masing sebutir untuk menghilangkan dahaga. Menikmati es kelapa muda ini sambil melihat pemandangan di laut.
Es kelapa muda membuat kami segar dan bertenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan. Maka kami kembali melaju dengan sepeda motor ke arah pusat kota. Destinasi pusat kota yang paling menarik adalah ke tepi laut Tanjung Pinang.
Tepi Laut Tanjung Pinang
Kawasan Tepi laut Tanjung Pinang terbagi tiga bagian. Pertama, Tugu Pensil yang merupakan tempat hiburan paling lawas. Di sini ada taman dan batu-batu pantai tempat anak-anak muda kongkow, Beberapa warung kopi tersedia di sana.
Bagian kedua adalah pelabuhan Tanjung Pinang, tempat datang dan perginya kapal yang menuju pulau Batam. Â Melihat keluar masuknya kapal adalah pemandangan yang cukup menarik. Para penumpang rata-rata membawa barang yang cukup banyak.
Bagian ketiga adalah tepi laut yang baru diperbaharui oleh Pemkot Tanjung Pinang, Â dan menjadi ikon kota ini. Kawasan ini ditata apik untuk menghabiskan senja yang indah. Kalau dahulu pedagang semrawut memenuhi pinggir pantai, maka sekarang mereka berjajar rapi.
Tepi Laut Tanjung Pinang yang dikelola Pemkot merupakan tempat paling favorit untuk semua orang. Mau tahu kenapa? Soalnya di sini kita bisa menyaksikan sunset yang sangat indah. Â Matahari akan bergulir ke Barat, dan arahnya adalah tepat menuju pulau Penyengat yang berseberangan dengan kota Tanjung Pinang.
Saya memilih tempat di kaki tugu dekat meriam peninggalan masa perjuangan. Setelah mencari posisi paling strategis, saya pun duduk manis bersama keponakan menghadap laut lepas dan pulau Penyengat di ujung. Sambil minum kopi, saya menyaksikan sang surya tergelincir.
Nah, mulailah detik-detik sunset berjalan. Mentari berangsur turun ke peraduan dengan meninggalkan bias warna jingga di langit. Sesekali masih tampak kapal melewati depan pulau penyengat hingga berhenti di pelabuhan. Semakin samar ketika sinar sang surya semakin pudar.
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah menyaksikan sunset saya pun beranjak dari tepi laut Tanjung Pinang. Motor kami melaju di tengah temaramnya kota Tanjung Pinang. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Saya dan keponakan pulang ke rumah yang teduh di tengah kebun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H