Kisah cinta Saidjah dan Adinda yang memilukan adalah rekaman sejarah bangsa Indonesia . Kisah ini dituliskan oleh Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, mantan asisten residen Belanda di Lebak, dalam bukunya yang terkenal Max Havelaar.
Saya ingat pertama kali membacanya puluhan tahun yang lalu, air mata saya mengalir. Dan ternyata ketika membaca ulang kisah ini, saya masih juga tidak dapat menahan haru. Bagaimana tidak, kisah ini merupakan gambaran kekejaman pemerintah kolonial Belanda ketika menjajah Indonesia, khususnya di wilayah Lebak, Banten.
Sekadar mengingatkan, pada masa penjajahan tahun 1830 Belanda menerapkan tanam paksa di Banten. Penjajahan itu sangat menindas rakyat karena Adipati Lebak dan Demang Parangkujang justru menjadi antek Belanda, membantu Belanda memeras rakyatnya.
Rakyat harus membayar pajak yang sangat tinggi. Jika tidak mampu membayar, mereka akan merampas hasil bumi, kerbau dan hewan ternak lainnya milik penduduk. Praktik tersebut memiskinkan rakyat Banten.
Saidjah adalah lelaki Badur yang memiliki kerbau kesayangan. Kerbau itu dipeliharanya sejak kecil. Ketika ayahnya sudah tidak sanggup lagi membayar pajak, maka kerbau itu melayang, dirampas Belanda sebagai ganti pembayar pajak.
Padahal kerbau itu yang diandalkan untuk menggarap sawah mereka. Alibatnya, mereka jatuh miskin. Ibunda Saidjah tidak mampu bertahan terhadap keadaan mereka dan akhirnya meninggal dunia. Ayah Saidjah yang mengungsi ke Bogor, malah ditangkap oleh pasukan Belanda.
Saidjah sendiri tengah menjalin cinta dengan Adinda, teman mainnya sejak kecil. Mereka telah dijodohkan orang tua. Saidjah bermaksud mengadu nasib ke Batavia untuk mencari uang agar dapat membeli kerbau dan mempunyai bekal untuk meminang Adinda.

Saidjah berjanji akan kembali dalam hitungan 3 x 12 bulan. Adinda harus menggores satu guratan setiap bulan di lesungnya untuk menghitung kepergian Saidjah. Dalam 36 bulan itu Saidjah bekerja keras, menjadi bendi pada tuan Belanda di Batavia untuk mengumpulkan uang demi masa depan.
Sayangnya sebelum masa itu berakhir, Adinda harus mengikuti orang tuanya mengungsi ke Lampung. Mereka tidak ingin lagi diperas dan justru bergerilya melawan Belanda. Adinda pun membantu ayahnya dalam melakukan perlawanan.
Remuk hati Saidjah tidak mendapati kekasihnya ketika pulang ke Lebak. Ia hanya menemukan rumah yang kosong dan hampir runtuh. Bibi Adinda yang menjelaskan bahwa Adinda mengungsi ke Lampung. Ia menyarankan Saidjah untuk segera menyusul.