Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menyambangi Sungai Citarum, Saksi Bisu Kisah Penculikan Bung Karno ke Rengasdengklok

16 Agustus 2018   10:33 Diperbarui: 16 Agustus 2018   14:10 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah sejarah Djiauw Kie Siong di Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Jawa Barat, merupakan tempat persinggahan Bung Karno dan Hatta saat dibawa oleh generasi muda pada 16 agustus 2017.(kompas.com / Wahyu Adityo Prodjo)

Generasi muda sekarang tidak mengenal sejarah kemerdekaan. Banyak yang tidak tahu kisah penculikan Bung Karno dan Bung Hatta sebelum proklamasi kemerdekaan. Untuk itulah Museum Naskah Proklamasi bekerja sama dengan Komunitas Jelajah Budaya mengadakan napak tilas sejarah ke Rengasdengklok.

Sungai Citarum yang melintasi Karawang| Dokumentasi pribadi
Sungai Citarum yang melintasi Karawang| Dokumentasi pribadi
Saya bersama tim dari Clickompasiana mengikuti napak tilas ini hari Minggu yang lalu. Ada dua bus besar yang telah disediakan pihak panitia. Kami diberi seragam kaos merah putih plus topi putih untuk perjalanan yang cukup panas. Ada sekitar 100 orang yang menjadi peserta napak tilas kali ini.
Rombongan napak tilas| Dokumentasi pribadi
Rombongan napak tilas| Dokumentasi pribadi
Pak Rushdy Hoesein, sejarawan yang menjelaskan peristiwa Rengasdengklok itu dalam briefing sebelum kami berangkat. Dengan semangat berapi-api ia menceritakan kisah itu seperti baru saja mengalaminya kemarin. Para peserta mendengarkan dengan seksama.
Pak Rushdy| Dokumentasi pribadi
Pak Rushdy| Dokumentasi pribadi
Saya adalah pemerhati sejarah, karena sejarah adalah bagian dari pembentukan jati diri bangsa Indonesia. Kebetulan pergaulan saya bersama para pelaku sejarah di masa lalu membuat saya memahami betapa beratnya perjuangan para pahlawan. Dan ini membuat saya semakin mencintai Indonesia.

Penculikan di sini bukan penculikan dalam arti kriminal, melainkan pengamanan tokoh nasional. Dalam hal ini sekelompok pemuda yang ingin mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa penculikan itu berawal dari perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua mengenai kapan waktu yang baik untuk memproklamasikan kemerdekaan. Golongan muda antara lain Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Sidik Kertapati, Darwis dan Suroto Kunto dll. Mereka juga dikenal sebagai kelompok Menteng 31.

Golongan tua seperti Bung Karno dan Bung Hatta dianggap terlalu kompromis kepada penjajah dan hanya menunggu kemerdekaan diberikan oleh Jepang. Para pemuda revolusioner tersebut lalu nekad menculik Bung Karno dan dibawa ke Rengasdengklok.

Chaerul Saleh membangunkan Bung Karno yang sedang tidur di kediamannya Jl. Pegangsaan Timur no.56. Saat itu pukul 04,00, Chaerul Saleh mengatakan bahwa keadaan sudah genting, keamanan di Jakarta tidak bisa ditanggung lagi oleh para pemuda.

Bung Karno tidak sempat mengecek kebenarannya, ia langsung dibawa ke Rengasdengklok, begitu pula dengan Bung Hatta. Desa Bojong yang berada di daerah Karawang ini menjadi pilihan karena sudah menjadi pusat gerakan anti fasis. Di sana kedatangan Bung Karno disambut oleh para pemuda PETA.

Kami turun dari bus dan berjalan kaki menuju rumah bersejarah tempat penyimpanan Bung Karno dan Bung Hatta. Cuaca sangat terik, tapi kami dipenuhi semangat 45. Suasana kampung Bojong tampak ceria dengan pernak pernik merah putih. Di samping gang telah digambar dengan wajah para tokoh pemuda. 

Bantaran Sungai Citarum| Dokumentasi pribadi
Bantaran Sungai Citarum| Dokumentasi pribadi
Rumah di tepi sungai Citarum

Semula Bung Karno akan ditempatkan di markas PETA, tetapi rencana itu berubah. Ketika mampir di rumah Djiauw Kie Siong yang tersembunyi dengan rimbunnya pepohononan di tepi sungai Citarum, rumah itu dianggap lebih cocok untuk "menyimpan" Bung Karno.

Rumah Rengasdengklok| Dokumentasi pribadi
Rumah Rengasdengklok| Dokumentasi pribadi
Rumah itu kondisinya paling bagus di antara rumah-rumah lainnya di desa Bojong, Rengasdengklok. Djiauw Kiw Song adalah warga keturunan Tiong Hoa Hakka yang menjadi petani dan pedagang. Ia lahir sekitar tahun 1880 di Sambo, Karawang. Djiauw juga bergabung dengan PETA.

Rumah Djiauw terbuat dari kayu yang cukup kokoh. Kami bisa melihat bahwa rumah ini masih utuh walau telah dipindahkan dari tempat aslinya di tepi sungai Citarum. Aura Bung Karno masih sangat terasa di rumah itu.

Sungai Citarum memang menjadi saksi bisu dari rumah Djiauw Kie Siong tersebut. Namun Sungai Citarum termasuk sungai yang paling besar di Jawa Barat, jika musim penghujan tiba, maka air sungai meluap dan membanjiri area sekitarnya.

Jika rumah Djiauw Kie Siong dibiarkan tetap di tepi sungai Citarum, bisa dipastikan rumah itu akan lenyap. Rumah itu di satu saat hancur oleh banjir atau dimakan rayap. Lebih tepat lagi, bisa hanyut terbawa arus sungai yang menggerus tepian dari tahun ke tahun. Padahal rumah ini adalah tempat bersejarah yang harus dilestarikan.

Karena itulah rumah tersebut kemudian diangkat ke atas, dipindahkan sekitar 150 meter dari tempat semula. Tidak begitu sulit memindahkan rumah yang terbuat dari kayu, cukup ringan ketika digotong bersama-sama pada tahun 1957. Di lokasi pemindahannya inilah kami berkunjung sekarang.

Ruang tamu| Dokumentasi pribadi
Ruang tamu| Dokumentasi pribadi
Ada potret Djiauw Kie Siong di tengah dinding ruang tamu , lengkap dengan ornamen khas Tiong Hoa. Beberapa perabot yang ada di ruangan itu juga masih perabot asli peninggalan masa kemerdekaan, seperti bufet dan seperangkat kursi dan meja. Banyak foto perjuangan menghiasi dinding.

Ranjang Bung Hatta| Dokumentasi pribadi
Ranjang Bung Hatta| Dokumentasi pribadi
Ada kamar tidur dimana dahulu digunakan untuk istirahat Bung Karno dan Bung Hatta. Ranjang kayu jati yang antik dan indah yang ditiduri Bung Hatta masih asli, diselimuti kelambu putih. Ranjang itu tidak boleh diduduki karena kuatir rentan dimakan usia. Namun ranjang Bung Karno telah dipindahkan ke museum di Bandung.

Foto Bung Karno dan Bung Hatta jelas mendominasi rumah itu, sehingga aura kedua tokoh itu masih bisa dirasakan. Meski rumah itu menjadi sesak oleh kunjungan para peserta napak tilas, kami masih bisa menghayati suasana zaman dahulu.

Dinding penuh dengan potret| Dokumentasi pribadi
Dinding penuh dengan potret| Dokumentasi pribadi
Cucu Djiauw Kie Siong yang menunggu dan menjaga rumah bersejarah tersebut dan sekarang diganti oleh cicitnya. Kehidupan mereka sederhana, dengan berdagang kecil-kecilan. Ada warung di sebelah rumah yang menjual kopi dan makanan.

Sayangnya di rumah ini tidak terdapat penjelasan apapun mengenai sejarah yang terkait di dalamnya, baik itu berupa pamlet atau papan informasi. Kami hanya mendengar penjelasan dari Pak Rushdy yang kembali mengisahkan peristiwa persiapan kemerdekaan.

Kartum Setiawan, Ketua KJB| Dokumentasi pribadi
Kartum Setiawan, Ketua KJB| Dokumentasi pribadi
Mas Kartum Setiawan, Ketua Komunitas Jelajah Budaya yang menjadi tour leader membawa kami menyusuri sungai Citarum dan menunjukkan lokasi awal keberadaan rumah Djiauw Kie Siong. Dari atas tebing, ia memberi gambaran rumah di tepi sungai tersebut.

Pada saat ini musim kemarau dengan sinar matahari yang sangat menyengat. Sungai Citarum dalam keadaan surut meski masih mengalirkan air. Jarak antara tebing dengan air sungai cukup tinggi, ada sekitar 10 meter atau lebih. Tetapi kalau musim hujan, air bisa naik sampai ke permukaan.

Dari kejauhan kami melihat perahu penyeberangan lalu lalang mengantar penduduk. Yup, sungai ini juga merupakan batas antara kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang. Jika ingin melintas dengan cepat, gunakan saja perahu.

Bantaran sungai yang cukup landai tampaknya bisa dinikmati selama musim kemarau. di sekitar bantaran itulah rumah Djiauw Kie Siong berada. Namun rumah itu akan tenggelam ketika musim hujam karena sungai Citarum pasti meluap. Untunglah rumah itu sudah diselamatkan ke atas.

Setelah menyusuri sungai Citarum, Mas Kartum membawa kami ke area tugu Kebulatan Tekad. Area ini sebenarnya adalah bekas markas PETA tempat para pemuda berkumpul dan menyusun rencana perjuangan, karena itulah diabadikan dengan tugu Kebulatan Tekad.

Saya di depan monumen Kebulatan Tekad| Dokumentasi pribadi
Saya di depan monumen Kebulatan Tekad| Dokumentasi pribadi
Bentuk monumen tugu Kebulatan Tekad berupa kepalan tangan pertanda kekokohan tekad para pemuda yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Area yang dibatasi dengan pagar besi ini bebas dimasuki dan dilihat oleh siapa saja. Kebersihan sekitar tempat itu pun terjaga dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun