Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Keindahan dalam Senyap Reruntuhan Keraton Surosowan Banten

26 Juli 2018   05:07 Diperbarui: 26 Juli 2018   07:57 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mempelajari sejarah tidak terbatas pada buku-buku teori di sekolah.  Kita dapat  menapak jejak perjalanan bangsa dan negara ini dengan melihat langsung ke tempat tempat  yang menjadi saksi bisu dari perjalanan tersebut. Banyak catatan tertoreh melalui bekas-bekas peninggalan masa lalu.

Beberapa waktu yang lalu saya beranjangsana ke wilayah Banten Lama dimana dahulu terdapat sisa-sia kejayaan Kesultanan Maulana Hasanudin pada masa 1526-1570. Teman baik saya, mbak Dewi  Soerono mengantar saya berkeliling melihat reruntuhan keraton Surosowan yang terletak di Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

Keraton ini sebenarnya cukup dekat, hanya 14 km dari kota Serang. Ada angkot yang melewati kawasan ini, tetapi saya tidak sempat nelihat nomor trayeknya. Lebih mudah dengan menggunakan kendaraan pribadi seperti motor atau mobil.

Dari luar saya melihat dinding benteng yang membentang panjang menutup kawasan keraton Surosowan ini.  Tidak banyak prosedur yang dilalui karena hanya membayar parkir mobil seharga lima ribu rupiah. Kawasan belum belum dikelola dengan baik sehingga kita bisa datang dan pergi seenaknya.

Saya masuk melalui pintu berjeruji besi yang terbuka sedikit. Pintu gerbang dengan bentuk melengkung itu sebenarnya cantik . Tingginya sekitar dua meter. Sayang kesannya gelap dan kumuh. Setelah masuk ke area di dalam, di hadapan saya terbentang padang rumput seluas empat hektar.

Pintu gerbang (dok. Dewi)
Pintu gerbang (dok. Dewi)
Dari kejauhan saya melihat reruntuhan beberapa bangunan yang nyaris tertelan ilalang. Sepertinya tidak ada apa-apanya. Saya menghadapi ruang hampa, senyap dalam padang rumput dengan hanya bunyi gemerisik angin di sela-sela ilalang yang meninggi.

Pantas saja jika kita bisa masuk tanpa berbayar, soalnya tak ada apa-apa di sini, pikir saya dalam hati. Saya memperhatikan sekeliling, pada dinding benteng yang terbuat dari bata merah, tebal dan kokoh dengan lebar lima meter. Di setiap sudut benteng terdapat anak tangga agar kita bisa ke atas.

Di tengah ilalang (dok. Dewi)
Di tengah ilalang (dok. Dewi)
Saya tidak naik ke atas dinding, tetapi mengambil foto pada sisa bangunan yang melekat ke dinding. Pada saat itulah saya melihat seorang lelaki yang memegang sabit rumput, sedang membersihkan sebagian ilalang. Ia mendatangi saya dan menyapa dengan ramah.

"Di tengah sana ada pemandian yang masih bagus. Silakan ibu melihatnya dulu," ajaknya.

Saya berjalan di tengah teriknya matahari. Maklum saat itu sekitar pukul 12 siang dan udara sedang panas-panasnya. Begitu sampai ke lokasi, saya tak mengira menemukan tempat yang cantik.

Kolam pemandian Rara Denok (dok. Dewi)
Kolam pemandian Rara Denok (dok. Dewi)
Ada kolam pemandian yang masih utuh dengan dikelilingi tembok rendah terbuat dari bata merah dan tebal. Karena kolam ini terletak di bawah permukaan tanah, memang tidak terlihat dari jauh. Air kolam berwarna hijau gelap pertanda dasarnya dipenuhi lumut.

Kolam pemandian bernama Bale Kambang Rara Denok ini bentuknya segi empat, dengan panjang  sekitar 30 meter dan lebar 13 meter. Di tengah ada bangunan batu juga, dengan ruang sempit seperti tempat bertapa. Kolam ini merupakan pemandian Ratu dan putri-putri keraton.

Saya menghayati kehadiran sang Ratu dengan menuruni tangga kolam dan melihat dari dekat air kolam yang berwarna kehijauan. Kolam yang indah, seandainya saya berada di masa lampau, saya juga akan senang mandi di sana.

Menurut Bapak penjaga yang sekaligus pembersih rerumputan kawasan ini, sebetulnya banyak perempuan yang sengaja datang untuk mandi berendam atau 'kumkum' di kolam ini. Mungkin mereka mengharap berkah kecantikan dari para putri keraton zaman dahulu.

Perempuan-perempuan tersebut berendam dengan menggunakan secarik kain panjang. Setelah selesai mandi, mereka meninggalkan kain itu begitu saja. Si Bapak penyabit rumput lah yang terpaksa mengumpulkan kain-kain tersebut dari area kolam. Saya melihat seonggok kain masih ada di dekat rerumputan sudut kolam.

Saya berdiri di atas tapak kaki Sultan Hasanudin (dok. Dewi)
Saya berdiri di atas tapak kaki Sultan Hasanudin (dok. Dewi)
Tak jauh dari kolam pemandian tersebut, ada reruntuhan tempat Sultan Hasanudin bersemayam. Memang tampak bekas beberapa ruangan dan juga atap batu yang runtuh. Tapi yang membuat saya takjub adalah peninggalan jejak sepasang kaki dari Sultan Hasanudin yang menghadap kiblat.

Sepasang tapak kaki itu ada di atas mimbar setinggi satu meter. Saya pun penasaran dan naik ke atas mimbar yang tinggal sepotong itu. Saya mencoba menginjak tapak kaki itu. Lho kok ukurannya sama dengan kaki saya.

Kolam pancuran mas (dok. Dewi)
Kolam pancuran mas (dok. Dewi)
Sesudah turun dari tempat shalat Sultan Hasanudin, si Bapak penjaga mengajak melihat kolam pancuran  yang hanya beberapa meter saja dari situ. Kolam itu  tidak sebesar pemandian Ratu Denok. Tetapi di tengahnya terdapat kolam kecil memanjang dengan air juga berwarna kehijauan.

Si bapak penjaga menceritakan bahwa kolam pancuran mas ini juga menjadi tempat membasuh diri. Airnya tidak pernah kering karena berasal dari danau yang tak jauh dari kawasan keraton. Tadi saya juga melewatinya dan melihat dari atas mobil.

Secara keseluruhan saya bisa membayangkan kemegahan keraton dan benteng di masa kejayaan Sultan Hasanudin ini. Berdasarkan literasi yang pernah saya baca, benteng keraton didirkan oleh arsitek Belanda Hendrik Lukasz. 

Atas jasanya, arsitek Belanda yang kemudian menjadi mualaf ini diberi anugerah nama dan gelar kebangsawanan sebagai Pangeran Wiraguna. Sayang keraton ini dihancurkan Belanda di masa Gubernur Jenderal Daendels.

Nyanyian padang ilalang kembali menghampiri saya. Sinar matahari yang garang seakan hendak menelan siapa saja yang berada di sana. Sebelum meninggalkan tempat bersejarah itu, saya menatap keindahan dalam senyap yang menceritakan peradaban masa lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun