Film Black Phanter berhasil meraup 292 Milliar Dollar AS sejak pertama dirilis. Film ini menjadi salah satu film awal tahun yang terlaris dan sukses  di Hollywood. Para penggemar pahlawan Marvel membanjiri bioskop dan theater untuk dapat menonton film ini. Namun seiring dengan popularitas Black Phanter, berkembang pula isu tentang Islamofobia.
Sebenarnya isu-isu negatif bukan hal yang aneh untuk setiap film yang sangat populer. Ada film yang diisukan anti komunis, ada juga yang anti liberal, sebagaimana Black Phanter ini diisukan sebagai film yang berindikasi Islamofobia. Untuk menilik benar tidaknya isu-isu tersebut, tentu kita harus tahu latar belakang atau motif pembuatan film, siapa yang membuat film, dan dalam kondisi sosial bagaimana film ini diproduksi.
Kalau kita perhatikan secara seksama, maka film ini mengangkat dunia 'hitam', yang bagi masyarakat internasional adalah benua Afrika dimana orang-orang berkulit hitam/negro berasal. Orang negro seringkali dianggap sebagai kaum yang termarjinalkan dalam pergaulan dunia. Sejarah mencatat bagaimana orang-orang Afrika dijajah, dieksploitasi dan diperdagangkan sebagai budak hingga ke benua Amerika.
Karena itu film ini justru memperlihatkan bahwa kaum negro sama halnya dengan manusia-manusia lainnya. Mereka bisa diberdayakan, memiliki kekuatan, melakukan sesuatu yang luar biasa, bahkan juga bisa menjadi pahlawan bagi orang lain. Â Film ini menyuguhkan aspirasi dan inovasi dari kaum hitam, yang menjadi inspirasi bagi kaum lainnya.
Tuduhan Islamofobia karena ada latar belakang Boko Haram dan penculikan gadis-gadis muslim. Hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa Hollywood mengembangkan mitos bahwa umat muslim biadab. Kritik ini justru dilancarkan oleh komunitas non muslim, dan bukan pula dari benua Afrika. Penilaian yang obyektif adalah melihat apakah hal itu ada relevansinya.
Skenario film dibuat oleh dua orang Afro-American Joe Robert Cole dan Ryan Coogler yang sangat menjiwai kisah dalam Black Phanter. Mereka telah mengemukakan secara terbuka bahwa latar belakang yang digunakan tidak untuk menyudutkan Islam. Â Film ini juga dimaksudkan untuk membangkitkan masyarakat Afrika yang selama ini dianggap lemah dan tak berdaya.
Kedua penulis itu telah menulis dengan hati, mencurahkan perasaan mereka terhadap stigma masyarakat Afrika yang termarjinalkan. Mereka menuangkan imajinasi dan harapan bahwa suatu saat kaum hitam bisa menjadi bagian yang sangat berarti bagi dunia internasional. Karena itu, terlalu naif jika menuduh mereka mengangkat Islamofobia.
Gagasan yang terkandung dalam film ini terlalu tinggi untuk dijangkau orang-orang yang berpikiran sempit. Film ini tidak boleh dinilai dari prasangka buruk, tetapi dari cita-cita yang ingin dijabarkan oleh sang penulis. Cita-cita tentang dunia baru yang sangat ideal, yaitu sebuah negeri bernama Wakanda.
Film ini berhasil sukses karena sebenarnya kebanyakan masyarakat internasional juga mendambakan sebuah negeri seperti Wakanda. Kita yang sudah muak dengan berbagai konflik dan perang. Dunia ini menjadi korban keserakahan politikus-politikus yang mengabdi pada setan. Karena itu Black Phanter menghidupkan kembali cinta-cita adanya sebuah negeri seperti Wakanda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H