"Kami menyebutnya sebagai Morning Call," kata Bu Badiah.
Owa Jawa yang sudah tinggal di hutan, berbeda dengan yang di kandang observasi. Mereka yang di kandang, harus menjalani serangkaian latihan sebelum dilepas-liarkan. Sebab, Owa Jawa yang di kandang biasanya hasil sitaan dari penduduk atau penyelundup. Mereka diperlakukan dan diberi makan seenaknya, sehingga Owa Jawa tersebut kehilangan naluri aslinya.
Sebagai contoh, bayi Owa yang diculik dari ibunya. Maka sejak kecil dia terpisah dari induk dan keluarganya. Ia hanya mengenal apa yang diberikan manusia yang memeliharanya. Butuh waktu yang lama untuk membuat anak Owa tersebut  mengenal habitat dan kebiasaan binatang sejenisnya. Setelah beberapa bulan di latih, barulah dia bisa dilepas ke hutan.
Berdasarkan penuturan Bu Badiah, maka saya bisa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya ada lima hal yang menjadi penyebab utama punahnya Owa Jawa. LIma hal inilah yang harus kita cegah dan hindari agar keberlangsungan hidup Owa Jawa dapat terus dijaga.
   Hal pertama yaitu Owa Jawa adalah binatang yang sangat sensitif. Tidak hanya sensitif dengan keberadaan manusia, tetapi juga terhadap perubahan dan lingkungan sekitarnya. Owa Jawa juga rentan terhadap penyakit, terutama yang dibawa oleh manusia. Karena itu, jika kita mengunjungi karantina dan kandang observasi, maka alas kaki kita harus dibersihkan dengan disinfektan, serta menggunakan masker.
  Hal kedua,  Owa Jawa adalah hewan yang mudah menjadi stress atau depresi. Kalau manusia memperlakukan dia dengan tidak semestinya, maka binatang ini menjadi stress dan bisa menyebabkan kematian. Misalnya, induk Owa yang kehilangan bayinya (karena diambil manusia) akan mengalami stress, tidak mau makan minum hingga mati. Kalau induk mati, maka pasangannya (pejantan) akan stress dan juga mati. Dengan kata lain, menculik satu Owa Jawa, berarti membunuh satu keluarga sekaligus.
Hal ketiga, Â Â para pemburu liar masih suka menyusup ke dalam hutan lindung untuk menangkap Owa Jawa. Hewan langka adalah komoditas yang menguntungkan, mempunyai nilai jual tinggi. Terutama kepada para kolektor hewan langka, yang biasanya adalah orang kaya dan konglomerat. Para pemburu ini tidak pernah memikirkan nasib keluarga Owa Jawa selanjutnya.Â
Hal keempat,   pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, mengamcam habitat Owa Jawa.  Pertama, manusia membabat hutan untuk diambil kayunya dan dijual. Kedua,  lahan hutan yang dibuka menjadi pemukiman penduduk. Dengan sendirinya, area hutan menyusut dan akhirnya  membuat habitat Owa Jawa juga semakin berkurang.Â
Hal kelima, Â Â Owa Jawa memiliki sifat monogami, atau setia pada satu pasangan seumur hidupnya. Hal ini menyebabkan perkembangbiakan Owa Jawa tidak secepat primata lain yang poligami, satu jantan dengan beberapa induk. Â Jika sang betina mati, pejantan tidak akan mencari gantinya dan akhirnya ikut mati. Perkembangbiakan pun terhenti.
Setelah mendengar penjelasan dari Ibu Badiah, kompasianers dibagi menjadi tiga kelompok sebelum masuk ke hutan konservasi. Saya ada di kelompok tiga, berangkat belakangan sambil menunggu teman-teman yang tadi ke kandang. Setelah bergabung, barulah kami menyusuri hutan, dengan dipandu seorang relawan bernama Pak Pelo.