Membuat KTP elektronik, tidak pernah menjadi mudah, bahkan semakin sulit. Dengan korupsi E-KTP yang memakan uang negara trilyunan rupiah, persoalan membuat e-KTP menjadi berbelit-belit. Coba saja datang ke setiap kelurahan, maka yang ada adalah jawaban bahwa blanko KTP tidak tersedia. Kalau pun persyaratan yang dibutuhkan sudah lengkap, paling bagus, kita cuma dikasih resi.
Lalu kapan e-KTP bisa didapatkan penduduk? Jangan heran, berbulan-bulan KTP itu baru akan selesai, atau tunggulah sampai lebih dari satu tahun. Dengan catatan, jika berkas Anda tidak terselip atau petugas kelurahan tidak lupa mengurus KTP-KTP tersebut. Dan selama itu pulalah kita akan didera perasaan lelah lahir dan batin, hanya untuk satu macam urusan, KTP.
Ironisnya, para petugas kelurahan yang PNS dan seharusnya melayani masyarakat, justru mempersulit masyarakat. Bukan rahasia lagi kalau mereka mengambil keuntungan dari pembuatan KTP, yang lebih dikenal sebagai "uang rokok" untuk mempercepat pembuatan e-KTP. Lho, bukannya korupsi dilarang? Apakah mereka tidak takut?
Masalahnya, korupsi sudah sangat membudaya dan mengakar, hingga ke jajaran terendah pemerintahan seperti di kelurahan. Meski judulnya "gratis", pada praktiknya tetap memakan biaya. Ada saja celah yang bisa dimainkan agar kantong bisa terisi. Mereka memiliki kode-kode tersendiri yang sudah dikenal oleh warga yang ingin membuat KTP.
Diplomasi warung kopi
Mau tahu jalan pintas agar membuat E-KTP lebih cepat? Ternyata ada diplomasi warung kopi. Kalau kita menyerahkan berkas-berkas persyaratan, secara normal diterima oleh petugas yang bersangkutan. Tidak ada negosiasi atau menyelipkan uang di lembaran kertas, karena di sebagian kelurahan sudah terpasang CCTV yang bisa merekam kejadian di ruang tersebut.
Tapi coba saja tanya seperti ini, "Pak, bagaimana supaya KTP ini cepat jadi ya? Soalnya saya butuh banget". Si petugas kira-kira akan menjawab seperti ini, "Sesuai prosedur, kalau memang sudah ada blankonya, akan selesai. Kapan waktunya tidak bisa dipastikan. Namun setelah itu ia akan meminta nomor hape kita, dengan alasan akan mengabarkan jika blanko tersedia".
Setelah keluar dari kelurahan, kita bakal mendapat sms atau WA dari petugas yang bersangkutan. "Bapak/Ibu, kalau mau cepat bikin KTP, temui saya di warung kopi pada saat makan siang". Nah, mau tak mau kita pasti berusaha menemuinya. Kita tidak ingin membuang waktu dan tenaga untuk membuat KTP, karena urusan lain juga banyak.
Di warung kopi yang telah disebutkan, biasanya tak jauh dari kantor kelurahan, petugas tersebut akan datang. Sambil memesan kopi mendekat kepada klien yang ingin membuat KTP. Bisik-bisik pun terjadi, kadangkala disertai negosiasi. Lazimnya, harga yang disepakati adalah sekitar seratus ribu rupiah di kawasan Jabodetabek. Kalau setuju, uang bisa diberikan langsung sebelum membayar kopi.
Seperti yang dijanjikan, maka pembuatan KTP bisa dipercepat. Kalau orang lain, KTP baru selesai satu tahun, maka yang melalui diplomasi warung kopi hanya menunggu sekitar dua atau tiga bulan saja. Entah dari mana blanko KTP yang dikabarkan habis tersebut. Barangkali memang hanya tersedia bagi yang berani membayar petugas kelurahan.
Hal ini juga terjadi pada waktu pameran pembangunan yang diselenggarakan Kementrian Dalam Negeri di Taman Mini Indonesia Indah seminggu yang lalu. Ribuan orang berjubel di sana dengan harapan bisa membuat e-KTP sebagaimana yang dijanjikan. Apalagi dengan kehadiran pejabat menteri yang berwenang. Sayangnya harapan tinggal harapan. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil mendapat E-KTP.
Sebagian besar warga yang datang dan menyerahkan berkas persyaratan beberapa hari sebelumnya terpaksa gigit jari. Sesudah mengantri berjam-jam, petugas akhirnya mengatakan bahwa e-KTP nya belum selesai. Mereka dipersilakan kembali bertanya pada kelurahan terkait. Lho, kok kembali pada kelurahan?