Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mudik ke Kampung Akhirat

2 Juli 2016   23:47 Diperbarui: 3 Juli 2016   00:08 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu saya menulis status di facebook : "Tetangga pada pulang kampung, saya mah pilih kampung akhirat". Teman-teman kompasianer bereaksi. Mbak Avi menegur,"Mbak kok keceplosan seperti itu". Sedangkan Choiron mengingatkan apakah bekal saya sudah cukup. Sebenarnya saat itu dorongan hati yang berbicara sehingga menulis status tersebut. Saya merasa sungguh tidak memiliki siapapun kecuali Allah. Keluarga dan teman bisa datang dan pergi tanpa saya kehendaki. Tetapi hanya Allah yang tetap bersama saya sepanjang waktu.

Kampung akhirat identik dengan kehidupan setelah kematian. Karena itulah jika ada yang mengucapkan rindu akan kampung akhirat dianggap sebagai pertanda akan meninggal. Orang lain  yang mendengarnya menjadi takut dan was-was. Saya sendiri tidak merasa seperti itu. Saya tidak tahu usia saya sampai berapa, apakah malaikat Izrail akan datang menjemput saya sebentar lagi atau masih bertahun-tahun lagi. Usia, sebagaimana jodoh dan rejeki adalah rahasia Allah semata.

Mudik ke kampung akhirat pada dasarnya memiliki hakikat yang sama ketika kita ingin mudik ke kampung halaman di dunia ini.  Ada tiga makna yang bisa kita tangkap. Pertama, kemana pun kita pergi, suatu saat akan kembali ke tempat semula. Ingatlah kata pepatah "Setinggi-tinggi bangau terbang, pulangnya ke pelimbahan juga". Kita juga demikian, walau merantau sampai ke ujung dunia, akhirnya selalu rindu pada kampung halaman.  Kedua, untuk mudik mereka membawa berbagai bekal untuk dibagikan kepada sanak saudara. Bekal ini mestilah yang terbaik, entah itu uang atau buah tangan agar keluarga dan handai tolan merasa senang. Ketiga, mudik dilakukan untuk menunjukkan keberhasilan kita dalam perantauan kepada orang-orang di kampung.

Demikian pula ketika kita akan mudik ke kampung akhirat. Bagaimana pun tingginya status ketika sebagai pejabat, pengusaha atau profesional, berapa pun harta yang dimiliki dan sejauh mana kita mengelilingi dunia, maka suatu saat kita harus pulang kepada-Nya. Kita tidak akan bisa mengelak ketika Allah memanggil kita melalui malaikat Izrail. Lalu bekal apa yang harus dipersiapkan? Hanya amal yang kita lakukan selama ini. Adakah kita selalu menerapkan apa yang diajarkan agama atau tidak. Keberhasilan kita sebagai hamba-Nya akan diukur jika kita termasuk orang yang salih.

Jika kita siap untuk mudik ke kampung halaman, apakah kita siap mudik ke kampung akhirat?  Bekal untuk ke kampung halaman sangat mudah dicari, selama kita mempunyai uang. Namun bekal untuk akhirat merupakan sesuatu yang abstrak, sulit untuk diketahui. Kita tidak akan pernah tahu apakah bekal itu sudah cukup atau tidak karena kita memang tidak akan tahu amal mana yang diterima dan mana yang tidak. Oleh sebab itu kebanyakan manusia merasa takut dan 'jeri' jika  berbicara tentang kampung akhirat, kuatir tiba-tiba dipanggil oleh Sang Pemilik Jiwa.

Saya tidak tabu mengucapkan ingin mudik ke kampung akhirat.  Bukan saya jumawa menganggap saya sebagai orang salih yang mempunyai amal banyak untuk bekal ke akhirat. Sama sekali tidak. Saya juga tidak tahu apakah amal-amal saya diterima olehNya.  Bahkan saya merasa masih saja berbuat dosa. Saya masih suka mengeluh, berburuk sangka dan menzalimi orang lain walau dilakukan tanpa sadar. Apa yang perlu ditakuti?  Toh kita tetap tidak bisa mengelak ketika Malaikat Izrail hendak menunaikan tugasnya.

Bagi saya, rindu akan kampung akhirat merupakan ungkapan hati dan jiwa saya untuk menemui Sang Kekasih yang sebenarnya. Saya mencintai Allah dan berbuat  segala sesuatu hanya untuk Allah. Karena itu, bayangan akan neraka dan surga tidak saya pikirkan. Saya hanya ingin bersama Allah yang memiliki cinta sejati, yang selalu menjaga saya di saat manusia dan makhluk-makhluknya meninggalkan saya. Dan sebagai orang beriman, bekal saya adalah sellau  berusaha menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, Maka saya berserah diri akan kebijakan Allah apakah saya pantas mendapatkan tempat di sisi-Nya. Cepat atau lambat, saya akan mudik ke kampung akhirat. Begitu pula dengan seluruh makhluk ciptaan-Nya.

*mohon maaf jika ada yang tidak berkenan atau tidak sependapat dengan tulisan ini.

Bagi saya akhirat adalah sesuatu yang sangat dekat, seperti halnya Allah yang terasa sangat dekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun