[caption caption="Tiba di depan pabrik teh Malabar (dok.pribadi)"][/caption]Apa obat yang paling menggairahkan untuk melepas kepenatan di ibukota? Tentu jawabannya adalah dengan jalan-jalan. Nah, paling tepat adalah dengan pergi ke pegunungan yang hijau dan segar, menikmati udara dan pemandangan yang indah. Pada umumnya orang Jakarta akan pergi ke daerah Bandung dan sekitarnya. Banyak tempat penginapan dan wisata yang bisa kita pilih sesuai dengan keinginan.
Namun bagi yang terlalu sibuk, tak akan punya banyak waktu untuk memilih. Ada alternatif yang memudahkan, ikut saja paket agrowisata yang ditawarkan oleh Best Western Premiere La Grande Hotel di Bandung. Hotel berbintang empat ini menyediakan pelayanan terbaik untuk agrowisata ke pabrik dan perkebunan teh Malabar. Adalah General Manager Best Western, Komang Artana yang memiliki ide untuk paket wisata ini. Tidak tanggung-tanggung, dia telah melakukan survei sendiri dengan bersepeda, menjelajahi perkebunan teh tertua di Jawa Barat ini.
Jika kita menginap di hotel Best Western pada Sabtu malam, maka minggu pagi kita akan diberangkatkan secara rombongan. Begitu pula dengan kami, para kompasianers yang diundang dalam rangka Visit Best Western. Kala hujan masih mengguyur kota Bandung setelah Subuh, kami cepat-cepat turun untuk sarapan yang dimulai pukul 05.30 WIB. Selesai sarapan, kami berkumpul di lobby, lalu berangkat dengan bus mini ke area pabrik dan perkebunan teh Malabar.Â
[caption caption="Mengabadikan Rumah Bosscha (dok.pribadi)"]
[/caption]Untuk menuju lokasi, membutuhkan waktu sekitar tiga jam karena jalanan yang macet. Bahkan keberadaan pasar kaget di dekat lokasi perkebunan sempat menghambat beberapa lama. Dengan kesabaran tinggi, kami akhirnya bisa melanjutkan perjalanan menuju tempat tersebut. Jalan yang berkelok-kelok membuat mata kami seketika menjadi melek. Akhirnya kami memasuki area penginapan, dimana terdapat rumah peninggalan Bosscha, orang Belanda yang banyak berjasa karena mendirikan ITB (Institut Teknologi Bandung), rumah teropong bintang di Lembang dan pabrik serta perkebunan teh Malabar ini.
Kami melemaskan anggota tubuh sejenak, sambil melihat-lihat isi rumah Bosscha yang penuh barang antik. Ada piano kuno, kursi dan perabot kayu jati, bahkan lukisan wajah Bosscha sendiri. Bisa dibayangkan bahwa rumah ini adalah rumah termewah pada zamannya. Hanya pejabat Belanda yang memiliki fasilitas seperti ini. Di belakang rumah itu, agak menyamping, dibangun berjejer tempat penginapan untuk para tamu yang sengaja ingin beragrowisata.
Pihak hotel dan pemandu agrowisata memberikan keterangan bahwa kami akan diajak meninjau pabrik, lalu dilanjutkan dengan melakukan tea walk sejauh satu kilometer. Kedengarannya sih tidak jauh, jadi kami tetap semangat menyambutnya. Tetapi sebelum mulai tea walk, kami akan mengunjungi makam Bosscha, yang terletak di tengah-tengah area perkebunan teh. Maka, kami naik bus lagi menuju makam tersebut. Di sana kami sudah disambut oleh para penjaga.
Pabrik teh Malabar
Pabrik dan perkebunan teh Malabar merupakan PTPN VIII, meski dibangun sejak zaman Belanda. Usianya jelas lebih dari satu abad, jauh lebih tua dari usia kita. Pada waktu pertama memandang gedung pabrik, terlihat betapa tua dan lusuhnya pabrik ini. Sungguh menakjubkan bahwa pabrik ini bisa bertahan sampai sekarang. Sebelum memasuki pintu gerbang, kami membaca ada peraturan dalam bahasa Sunda yang harus ditaati oleh setiap orang di kawasan ini.
[caption caption="Peraturan untuk karyawan Malabar dalam bahasa Sunda (dok.pribadi)"]
[/caption]Di halaman kami melihat gudang penyimpanan, serta beberapa mesin yang sudah tua. Sepertinya semua masih berjalan dengan normal. Di atas pintu pabrik pun ada tulisan yang sudah tua. Di ruang tunggu terpampang foto-foto jadul yang menggambarkan aktivitas pabrik pada zaman Belanda. Ada beberapa foto dimana tempak orang-orang Belanda yang terlibat pekerjaan di pabrik itu. Dengan memerhatikan foto-foto, kami tahu bagaimana pabrik ini menjadi salah satu industri terbesar pada saat itu.
[caption caption="kompasianers masuk pabrik (dok.pribadi)"]
[/caption]Kemudian kami naik tangga yang terbuat dari kayu jati. Di panggung yang tak seberapa lebar kami melihat keranjang yang dikerek ke atas penuh dengan daun teh yang telah dilayukan di bawah. Di atas, sudah ada dua orang pekerja pabrik yang menerima dan memilah lagi daun-daun teh tersebut. Kami melihatnya dengan antusias, karena baru kali ini mengetahui proses pemilihan daun teh.
[caption caption="Keranjang berisi daun teh dikerek ke atas (dok.pribadi)"]
[/caption]Setelah itu kami memasuki ruangan dimana terlihat mesin-mesin giling yang sudah sangat tua masih berjalan dengan baik menggiling daun-daun teh yang telah dipilah-pilah tadi. Bau harum teh yang sangat menyengat memenuhi ruangan. Pantaslah jika para pekerja pabrik selalu merasa segar karena ada kandungan kafein yang terhirup bersama keharuman itu. Teh mengandung kafein walau tidak sebanyak kopi.
[caption caption="Mesin-mesin tua yang masih bekerja dengan baik (dok.pribadi)"]
[/caption]Lantas kami dibawa ke sebuah laboratorium kecil dimana daun-daun teh diteliti kualitasnya. Ternyata hasil dari pabrik teh Malabar ini berkualitas premium. Untuk konsumsi dalam negeri, kita mengenal dengan merek Walini. Sedangkan untuk ekspor ke luar negeri tidak diberi merek. Negara yang mengekspor yang memberi mereka. Sebenarnya ini kerugian kita karena masyarakat dunia mengira teh tersebut produksi negara itu, padahal berasal dari Indonesia. Bahkan
white tea yang sedang naik daun juga dihasilkan pabrik ini.
[caption caption="Pemilihan kualitas teh (dok.pribadi)"]
[/caption]Kami dipersilakan pula mencicipi secangkir teh segar yang baru diseduh. Teh
fresh ini memang berbeda kenikmatannya dibandingkan yang telah dikemas dan dijual di pasaran. Walau tanpa gula, kami dapat merasakan kesegarannya. Warnanya pun terlihat cantik.
[caption caption="menyajikan teh segar dari pabrik (dok.pribadi)"]
[/caption]Puas berkeliling di dalam pabrik, kami keluar lagi. Di halaman masih saja ada kompasianers yang memanfaatkan mesin-mesin tua untuk berfoto-foto, termasuk mbak Adventa Pramushanti,
marketing Communication Best Western Hotel. Lalu kami kembali ke halaman depan pabrik, foto bersama untuk dokumentasi.
Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi makam Bosscha yang berada di tengah-tengah perkebunan teh. Makamnya dinaungi bangunan tapa dinding, dengan pilar-pilar tinggi. Tidak ada suasana seram di sini karena taman di sekelilingnya penuh bunga indah. Halamnnya pun tertata apik dan bersih karena dirawat setiap hari. Ada dua bangku taman yang disediakan bai orang yang ingin bersantai di makam itu.
[caption caption="di sini tempat peristirahatan Bosscha (dok.pribadi)"]
[/caption]Di depan makam ada prasasti atau monumen yang menerangkan jasa-jasa Bosscha. Kita bisa membacanya dengan jelas sehingga mengerti bahwa Bosscha adalah orang Belanda yang baik, tidak seperti kebanyakan orang Belanda lainnya yang hanya menjajah dnegan kejam.
[caption caption="Tercantum jasa-jasa Bosscha di prasasti ini (dok.pribadi)"]
[/caption] Pemandu agrowisata mengajak kami melakukan
tea walk, dimulai dari jalan setapak yang baru dibuka dari samping makam Bosscha. Jalannya menurun dan menanjak sehingga bagi yang jarang berolahraga, pasti merasa berat. Begitu pula dengan saya, kaki ini terasa lunglai. Kami tiba di perkebunan teh pertama dimana pohon-pohon tehnya sudah meninggi. Kebun ini sudah tidak berfungsi kecuali sebagai peneduh. Semula dijadikan kebun bibit dengan diambil bijinya. Sekarang sistem tanam sudah menggunakan stek.
[caption caption="Pohon-pohon teh tertua yang sudah meninggi (dok.pribadi)"]
[/caption]
Tea walk berlanjut menyusuri perkebunan teh, untung tanahnya datar sehingga tidak membuat lelah. Bahkan beberapa kali kami berhenti untuk sekedar selfie. Sepanjang perjalanan diisi dengan canda ria. Tak ada jarak antara kompasianers dengan manajemen hotel. Pak Komang sendiri senang mengambil foto-foto kami. Tanpa terasa kami tiba kembali di depan rumah Bosscha. Di sana sudah menunggu makan siang dengan menu yang mengunggah selera, nasi hangat dengan ikan peda di atasnya, ditemani ayam goreng, tahu tempe, lalapan, pisang dan kerupuk. Tak ketinggalan segelas air teh yang hangat melengkapi jamuan tersebut. Kami pun makan dengan lahap.
Sekitar pukul tiga sore kami sudah berada di dalam bus, kembali ke hotel. Bus sempat berhenti di depan kios penjual oleh-oleh. Namun karena hari mulai hujan, kai segera melanjutkan perjalanan. Sungguh hari itu kami mendapatkan pengalaman yang menarik. Kami pulang ke Jakarta dengan hati yang puas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya