Jika ada anak-anak siswa menggunakan pakaian dan atribut yang aneh, pasti kita langsung tahu bahwa mereka adalah peserta MOS. Siswa perempuan ada yang mengenakan pita warna-warni untuk mengikat rambut yang dibuat tak berarturan. Sedangkan laki-laki gayanya agak berbeda, bisa mengenakan kardus dll. Jika berpapasan dengan orang lain, para siswa tersebut menunduk malu, dengan langkah terburu-buru agar tidak terus menjadi pusat perhatian.
Atribut yang aneh-aneh itu untuk apa? apakah ada manfaatnya bagi para siswa? tidak sama sekali. Sejauh ini tidak ada efek positif dari penggunaan atribut tersebut. Justru pengadaan aneka atribut aneh itu lebih banyak memeberikan dampak negatif, bukan hanya kepada siswa tetapi juga orangtuanya. Mengapa demikian?
Berikut akibat dari pemaksaan pengadaan atribut:
1. Orang yang paling tergopoh-gopoh untuk mencari perlengkapan atribut adalah orangtua, terutama ibu dari siswa yang bersangkutan. Sang Ibu yang pergi ke pasar mencari benda-benda yang dibutuhkan. Belum lagi jika benda-benda itu harus 'ditebak' lebih dahulu karena menggunakan kata-kata sandi yang membuat pusing tujuh keliling. Si Ibu terpaksa harus bertanya kesana kemari, kepada teman, tetangga, bahkan lewat medsos seperti facebook. Bayangkan, berapa banyak orangtua yang dibikin repot oleh panitia MOS? apakah itu bukan suatu dosa?
2. Pengadaan barang-barang memerlukan uang untuk membelinya. Tidak masalah jika orangtua sedang memiliki uang. Lalu bagaimana jika ada orangtua siswa yang memang hanya punya uang pas-pasan untuk kehidupan sehari-hari? apakah mereka terpaksa berhutang, atau terpaksa mengurangi jatah beras dan sayur yang harus dibeli? pengadaan atribut ini memberatkan siswa yang berasal dari golongan menengah ke bawah.
3. Pemakaian atribut hanya menimbulkan rasa malu kepada setiap siswa yang memakainya. Sepanjang jalan mereka berusaha menghindari tatapan mata orang lain yang melihatnya sebagai sesuatu yang lucu, mereka merasa ditertawakan. Ini justru menumbuhkan perasaan minder atau rendah diri. Mereka merasa tersiksa dalam pakaian dan atribut seperti itu. Belum lagi jika nanti 'dikerjain' oleh senior atau panitia MOS, rasa malu semakin bertambah-tambah. Mental mereka semakin down.
4. Setelah atribut itu selesai, mau dikemanakan? kebanyakan langsung dibuang karena dianggap tidak ada gunanya. Siswa juga tidak ada yang mau menyimpannya sebagai kenang-kenangan, karena kenangan yang ada hanya hari-hari yang memalukan. Benda-benda itu hanya menjadi sesuatu yang mubazir, hanya menambah jumlah volume sampah.
Karena itu, untuk apa dipertahankan pemakaian atribu aneh tersebut? yang senang tih hanya para panitia yang bisa menertawakan yuniornya. Mereka tidak pernah berpikir jauh akan dampak negatifnya. Kebijakan ini harus ditinjau ulang oleh Kemendikbud agar tidak digunakan lagi di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H