Seseorang seperti nenek Asyani yang menjadi tersangka dalam kasus pencurian kayu sangat memerlukan pertolongan. Memang pertolongan dari sisi hukum sedang diupayakan. Apalagi dukungan dari masyarakat terus mengalir. Namun dari aspek kejiwaan, menjadi sangat urgensi. Nenek Asyani membutuhkan pendampingan seorang psikolog atau psikiater karena tekanan yang dialaminya.
Apakah kita bisa membayangkan betapa beratnya beban batin yang dialami nenek Asyani? Dalam usia yang menapak senja tidak berada dalam kedamaian, bahkan dihantam badai yang tak kunjung berlalu. Orang sederhana seperti nenek Asyani tentu tak pernah mengira akhir hidupnya akan menjadi seperti ini. Ia tentu tak habis pikir, bagaimana nasibnya berakhir di balik jeruji.
Sudah pasti, nenek Asyani mengalami goncangan kejiwaan yang sangat dahsyat. Pertama, sebagai orang desa yang lugu dan tak berpendidikan ia tak mengerti mengapa dituduh menyalahi hukum. Pola pikir orang desa adalah mengambil dan memanfaatkan apapun di seputar desa adalah hal yang biasa, apalagi masih di lingkungan rumahnya. Hukum tidak pernah diperdengarkan dalam kehidupan desa yang sederhana. Jangankan nenek Asyani, sebagian besar penduduk desa adalah orang-orang yang buta hukum. Mereka hanya mengenal hukum adat dan patuh pada tokoh adat.
Kedua, sebagai orang yang sudah tua, kehidupan yang normal adalah hidup tenang dikelilingi anak dan cucu. Karena itu nenek Asyani tak mengerti bagaimana ia dicampakkan ke dalam kehidupan yang tak dikenalnya, dikelilingi para kriminal yang jelas berbeda dengan dirinya. Nenek Asyani bukan penjahat dan tak pernah merasa menjadi penjahat. Ia terasing dari kehidupan yang dicintaiya.Di dalam penjara, tidak akan ada celoteh dan canda ria dari cucu-cucunya yang bisa menghibur dirinya.
Ketiga, Nenek Asyani mengalami berbagai peristiwa yang mengerikan, yang belum pernah dilihatnya selama ini. Ia ditangkap polisi, dimasukkan ke dalam penjara, dibawa ke dalam sidang yang mencekam dan menjadi tontonan banyak orang. Bagi orang lugu dan awam, berada di ruang sidang adalah sesuatu yang menakutkan, berada di tengah ruangan, sedangkan di depan, di atas mimbar duduk majelis hakim yang berseragam dan tampak angker. Begitu pula di samping ada jaksa yang melontarkan kata-kata jahat dan bermusuhan.
Semua itu menimbulkan trauma kejiwaan yang sangat mendalam bagi nenek Asyani. Kita lihat bagaimana ia menangis dan menyembah minta ampun kepada hakim. Ia kehilangan segala daya. Ia kehilangan segala nalar. Ia tercerabut dari masa senja yang menjanjikan kedamaian dan ketenangan. Dan akibat trauma tersebut, maka nenek Asyani semakin lemah lahir dan batin. Ia jatuh sakit. Sadarkah kita bahwa kita sedang menyaksikan suatu pembunuhan? Nenek Arsyani bisa mati secara perlahan.
Karena itulah pendampingan seorang psikolog atau psikiater menjadi sangat urgensi untuk nenek Asyani. Pembelaan secara hukum, itu sudah pasti. tetapi penyembuhan trauma kejiwaan juga tak kalah pentingnya. Kalaulah akhirnya dia dibebaskan, ia belum tentu sembuh dari trauma tersebut. Pengalaman buruk ini bisa menghantui nenek Asyani pada sisa hidupnya. Berikan nenek Arsyani pendampingan tersebut, agar ia bisa melewati masalah ini dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H