[caption id="attachment_399580" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - begal (Shutterstock) "][/caption]
Ada yang menarik dari aksi para begal yang beroperasi di wilayah Jabodetabek. Mereka menjadi sulit ditangkap ketika lari ke kampung halamannya. Orang-orang kampung sengaja melindungi dan menyembunyikan mereka ketika aparat kepolisian tampak melakukan pencarian. Alhasil, Polisi kesulitan untuk menemukan kelompok yang meresahkan ini.
Mengapa warga kampung melindungi para begal? Ternyata mereka dianggap sebagai Robin Hood oleh masyarakat setempat. Kelompok begal ini beraksi jauh dari daerahnya, berarti yang dirampok adalah orang lain. Mereka tidak merugikan kampung halamannya. Malah sebagian hasil dari begal motor ini digunakan dan disumbangkan untuk membangun kampung tersebut. Antara lain, melengkapi fasilitas desa dan membangun jalan. Jadi, warga kampung turut menikmati 'uang haram' tersebut.
Hal ini juga diakui oleh warga kampung yang terletak di perbatasan kabupaten Indramayu dan Cirebon. Kampung itu juga dikenal sebagai kampung para begal, karena sekelompok begal tinggal di sana. Mereka juga sering menyumbangkan sebagian hasil begal untuk membangun desa. Perbuatan mereka malah dianggap pahlawan sehingga mereka mendapat perlindungan dari warga kampung. Kalau ada aparat datang, warga kampung pura-pura tidak tahu keberadaan mereka. Bedanya, operasi begal dari kampung ini tidak merambah daerah lain. Mereka hanya beraksi di sekitar perbatasan Indramayu-Cirebon.
Kemiskinan
Kita tidak bisa serta merta menyalahkan warga kampung yang melindungi anggotanya sebagai begal. Titik permasalahannya adalah kehidupan di kampung yang selalu dililit kemiskinan. Mereka mendambakan peningkatan perekonomian sebagaimana daerah lain. Kurangnya perhatian Pemda setempat membuat kemiskinan ini seakan enggan beranjak. Akhirnya mereka mencari jalan pintas untuk meningkatkan kesejahteraan.
Sebagai contoh, dua kampung begal yang berada di Lampung yaitu Desa Tebing yang berada di Kecamatan Minting dan Desa Negara Bathin di Kecamatan Jabung. Kedua desa ini tidak bisa dijangkau oleh kendaraan roda empat. Untuk mencapai kedua desa tersebut hanya bisa dilakukan dengan motor dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Petugas Kepolisian sering datang kesana dan menyita amunisi dan senjata api di beberapa rumah warga. Namun kepala desa Tebing, Bukhori menolak jika desa itu disebut kampung begal. Alasannya, hanya 10 % warganya yang menjadi begal. Walau begitu, Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Unggung Cahyono berniat menyiapkan pasukan khusus untuk membasmi mereka.
Selain pemberantasan begal melalui pihak yang berwenang seperti kepolisian, selayaknya dibarengi dengan pemberantasan penyebab orang menjadi begal, yaitu kemiskinan. Pemda setempat diharapkan turun tangan secepatnya untuk membangun kampung-kampung yang tergolong miskin. Jangankan mempunyai pendapatan yang memadai, di kampung-kampung tersebut tidak ada sekolah untuk anak-anak mereka.
Maka, Pemda harus membuka akses menuju kampung-kampung terpencil dengan membangun jalan-jalan yang memudahkan masyarakat berinteraksi dan melakukan perniagaan dari desa ke kota. Tidak lupa membangun sekolah-sekolah dan sarana yang dibutuhkan masyarakat. Para ahli ekonomi perlu diterjunkan agar memberikan pengetahuan yang cukup kepada warga kampung agar mampu mengembangkan ekonomi kreatif yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tidak kalah pentingnya, para ulama harus bersinergi untuk melakukan pembenahan moral. Bagaimana mungkin kita membiarkan satu desa melegalkan sesuatu yang haram sebagai mata pencaharian dan sumber pendapatan. Ini kerja bersama dan tanggung jawab bersama, membangun masyarakat fisik dan mental agar bangsa kita terangkat dari keterpurukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H