Mohon tunggu...
Empong Nurlaela
Empong Nurlaela Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kabur di Malam Pernikahan

16 November 2024   10:10 Diperbarui: 16 November 2024   10:13 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Part 3

"Kamu belum tidur, Yok?''
Dengan mengumpulkan keberanian, aku membuka mata. "Belum Oma."
Aku bangun, beringsut duduk di bibir ranjang. Oma Nenah menghampiri dan duduk di sampingku. Dengan canggung, aku mencium tangannya.
"Sengaja Oma Ke sini, mumpung si Abang lagi di mesjid," ucapnya sembari menatapku. "Ada hal yang ingin Oma sampaikan sama Oyok," lanjutnya.
Aku mengaguk pelan.
"Jam dua pagi si Abang minta dibangunin, katanya mau memburu waktu ngajar. Oma kira sudah di Jakarta, tapi ternyata ...." Suara Oma Nenah tiba-tiba tercekat. Beliau membuka kaca mata, lalu mengusap sudut netranya dengan punggung tangannya. Rasa bersalah kembali menyeruak, serasa ada bongkahan batu mengganjal di dada.
"Yok, titip si Abang Ya! Dia cucu kebanggan Oma. Sejujurnya hati Oma sakit dengan tuduhan ini. Si Abang itu anak soleh." Oma Nenah kembali menyeka air matanya.
"Maafin Tiara, Oma! Tiara yang salah." Aku menggenggam tangan Oma Nenah. "Apa pun yang akan Oma lakukan, Tiara akan terima," imbuhku.
Bulir bening berjatuhan tak dapat kutahan. Andai saja Oma Nenah berniat memisahkanku dengan Alif. Sekarang juga, aku siap menerimanya.
Oma Nenah tersenyum tipis. Lebih tepatnya, senyuman hambar menurutku.
"Kemarin waktu sama Oma diheureuyan (diajak bercanda), kapan si Abang nikah. Dia menjawab sedang istikharah. Oma pikir, si abang sudah mempunyai calon. Ternyata jodohnya deket." Oma Nenah sedikit terkekeh. Aku mengulum senyum.
"Tadi Oma sempat marah sama si Abang yang keukeuh bersedia menikahimu. Namun, mendengar penjelasannya, oma paham dan setuju kalian menikah," jelasnya.
Sayang, Oma Nenah tidak menceritakan apa yang dibicarakan Alif. Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi lidah ini kelu karena malu.
Sejenak keheningan menyapa. Aku tidak berani memulai pembicaraan, walaupun sebenarnya banyak yang ingin ditanyakan.
"Oyok masih ingat tidak? Dulu katanya kamu nangis gara-gara ada yang mencoret-coret tembok sekolah dengan tulisan nama kamu." Oma Nenah kembali sedikit terkekeh, mungkin beliau mengingat hal yang lucu.
Aku mengerutkan kening. Berusaha mengingat memori empat belas tahun lalu.
Iya, sekarang aku ingat. Waktu itu, aku menagis karena jadi bahan bulli teman-teman. Mereka bilang, pacarku yang sengaja mencoret-coret  tembok dengan tulisan 'I love you, Tiara'.
"Keun siah dikawinkeun! (nanti kamu dinakahin)." Olok-olok mereka disertai tawa ejekan, sukses membuatku menagis. Suasana di kelas menjadi gaduh. Rini teman---sebangkuku, mencoba menenagkanku. Dia memnggil Bu Lilis---wali kelas kami yang sedang mengikuti rapat guru.
"Ada apa ini? Mengapa Tiara sampai nangis?" Suara Bu Lilis, sukses membuat suasana kelas kembali hening.
"Oyok dipoyokan Bu (Oyok dibulli Bu)," jawab Rini sambil mengusap bahuku.
"Ada yang mencoret-coret tembok, Bu," celetuk Nano---temanku yang paling nakal.
"Siapa?" tanya Bu Lilis.
"Nggak tahu, Bu," jawab teman-temanku serempak.
Bu Lilis menghampiri, lalu membelai rambutku. "Sudah, Tiara jangan nangis ya! Nanti Ibu cari tahu siapa pelakunya."
Aku mengaguk sambil mengusap wajah yang basah.
"Tugas yang Ibu berikan sudah selesai dikerjakan belum?" Bu Lilis melangkah ke depan kelas.
"Belum ... Bu."
"Baik, sekarang kerjakan! Jangan ribut! Ibu akan melihat coretan di temboknya," ujar Bu Lilis sambil berlalu dari ruang kelas.
Tak lama kemudian, Bu Lilis masuk kembali. Beliau mengedarkan pandangan, lalu memanggil Alif.
"Oyok, kamu ingat tidak?" Suara Oma Nenah membuyarkan memoriku.
"I-ingat Oma."Aku menjawab terbata.
Oma Nenah tersenyum. "Oyok tahu nggak, pelakunya siapa?"
Aku menggeleng.
"Waktu itu, Oma khawatir. Tak seperti biasanya, si Abang pulang telat." Oma Nenah menghela napas, lalu melanjutkan ceritanya. "Oma menyusul dia ke sekolah. Ternyata, di sana dia sedang membersihkan tembok , diawasi oleh Bu Lilis."
"Berarti yang mencoret tembok ...." Aku mengernyitka dahi.
"Ya, si Abang, cucu Oma," ujarnya sambil tersenyum.
Bisa-bisanya waktu itu, Allif menyembunyikan kesalahannya. Malah dia ikut-ikutan mencari pelakunya. Keterlaluan!
"Mengingat itu, Oma jadi menyetujui pernikahan kalian," jelas Oma nenah sambil menepuk  punggungku.
Ah ... rasanya aku ingin bilang kalau  semua itu adalah masa kecil yang tidak ada hubungannya dengan saat ini. Namun, lidahku seolah terkunci melihat wajah penuh karisma Oma Nenah.
"Oyok, janji ya sama Oma, untuk menjadi istri yang baik bagi si Abang!" Wanita paruh baya itu, menatapku lekat seolah-olah mencari kata 'iya' di manik mataku.
Lagi aku mengaguk pelan.
Oma Nenah menghela napas, sepertinya lega dengan anggukanku. Padahal dalam hati, aku meragukan hubungan tanpa cinta ini.
"Besok kalian ke Jakarta, si Abang harus bekerja. Dia tidak mengambil cuti, karena acara pernikahan ini mendadak. Biar Oma yang menjelaskan kejadian ini pada bundanya."
"Baik Oma," jawabku singkat.
***
Setelah Oma Nenah berlalu, aku sedikit bernapas lega. Keteganganku berangsur lenyap. Aku membaringkan tubuh, berharap bisa mengobati lelah jiwa dan raga.
Ada perkataan Oma Nenah yang cukup mengganggu kenyamanan hati, yakni tentang istikharah Alif. Aku pernah mendengar tentang istikharah, waktu mengikuti pengajian syukuran pernikahan Rini. Mungkinkah pria yang berprofesi sebagai dosen itu, telah memiliki calon istri?
Ah, nanti begitu ketemu Alif. Aku akan mengintrogasinya, biar tidak ada lagi masalah yang terus membebaniku.
Ucapan salam bersuara bariton disertai ketukan di daun pintu, membuat detakan jantungku kembali berkejaran. Aku berusaha menetralisir suasana hati yang porak poranda dengan menarik napas panjang.
Aku menjawab salam sambil menyuruh Alif untuk menunggu sebentar. Gegas aku mengganti pakaian, lalu duduk di bibir ranjang.
"Masuk saja, Bang! Pintunya nggak dikunci kok." Aku sedikit berteriak, supaya Alif mendengarnya.
Alif membuka pintu, lalu masuk ke kamar. Kemudian, dia duduk di ujung bibir ranjang.
Hening. Cukup lama tidak ada suara di antara kami. Aku menekuri kaki yang menjuntai ke lantai sambil berfikir mulai pembicaran dari mana.
"Maaf." Aku dan Alif mengucapkan kata tersebut berbarengan. Kami saling pandang, Kemudian tertawa. Lumayan bisa mencairkan suasana.
"Ya udah kamu dulu, Tiara!'
"Nggak apa-apa, Abang dulu aja!"
"Maaf, tadi aku ke masjid, nggak izin dulu sama kamu," ujar Alif sambil membungkukkan sedikit badannya,
"nggak apa-apa Bang. Lagian, aku udah tahu kok dari Oma."
"Emang tadi Oma ke sini?" tanyanya.
"Iya. Sekalian mau nanyain tentang is---"
"Oyok buka pintunya!" Suara Emak memotong pembicaraanku.
Gegas aku bangkit hendak membuka pintu. Namun Alif dengan sigap telah membuka terlebih dahulu.
"Ini, Emak bawain makanan. Takutnya kalian lapar." Emak menyodorkan nampan berisi makanan.
Setelah mengucapkan terima kasih, Alif menerima nampan dari Emak, lalu menyimpannya di atas nakas.
Emak pamit sambil menutup pintu kamar kembali.
Alif memandangku yang masih berdiri di dekat bibir ranjang. Netranya menyapu tubuhku dari atas sampai ke bawah.
"Ada apa sih, Abang liat-liat," ucapku dengan nada tak enak. Risih.
"Pake berapa lapis tuh baju dan celana?" Alif mentup mulut. Sepertinya dia menahan tawa.
"Emang kenapa? Cuman tiga lapis kok," jawabku sambil mendelik.
Aduh, pake keceplosan lagi. Sengaja aku memakai celana tiga lapis. Bahkan yang terakhir berbahan levis tebal. Sebagai benteng bila nanti Alif tiba-tiba menyerang, ketika aku ketiduran.
"Nggak kurang tuh sampai tiga lapis, pakai aja alat pelindung diri sekalian!" ejeknya sambil tertawa renyah. Kali ini aku bisa melihat giginya yang berbaris rapi.
"Apaan sih, nggak lucu tahu." Aku melempar Alif dengan bantal. Dia sedikit mengaduh.
"Rasain!" umpatku.
"Maaf-maaf tuan putri, aku bercanda kok." Alif menangkupkan tangannya di depan dada.
Aku merenggut kesal.
Alif beringsut mendekatiku. Aku pun beringsut menjauhinya. Sampai tubuhku menempel di dinding kamar.
Bersambung ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun