Teman-teman yang baik, berikut ini saya teruskan tulisan dari seorang rekan mengenai buruh serabutan yang memerlukan bantuan karena patah tulang belakang. Bagi siapa saja yang tergerak bisa langsung membantu: bisa material, doa atau meneruskan cerita ini ke teman-teman yang lain. Semoga kebersamaan bisa menopang hidup saudara-saudara yang sedang dilanda kesusahan. Oleh AA Kunto A [http://www.aakuntoa.wordpress.com; aakuntoa@gmail.com] [caption id="attachment_132374" align="aligncenter" width="640" caption="sedekah dari hamba Allah"][/caption] Siang ini saya kembali menengok Mas Trubus, tetangga saya yang Senin (19 September 2011) pukul 14.00-20.00 wib kemarin menjalani operasi tulang belakang di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Ada amanah yang harus segera saya sampaikan. Satu amplop sedekah kiriman Mas Saptuari, bos Kedai Digital. Seorang pembaca blog http://www.saptuari.blogspot.com menitipkan uang untuk meringankan beban Mas Trubus. Tempo hari saya memang mengirimkan email kepada Mas Saptu supaya membantu saya mencarikan saudara yang berkenan menyumbangkan dana untuk operasi Mas Trubus. Saya juga mengirim surat senada kepada beberapa sahabat. Tak satu pun surat saya ajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, alih-alih, pemerintah. Juga, saya tak berkirim surat kepada calon walikota Yogyakarta supaya tak ada yang berebut sorot kamera mengulurkan bantuan demi mendongkrak popularitas. Apalagi, Mas Trubus bukan warga Kota Yogyakarta. Hari ini sebuah jawaban datang. Saya bergegas meneruskan jawaban itu kepada keluarga Trubus. Siapakah Mas Trubus?
[caption id="attachment_132375" align="aligncenter" width="640" caption="darah kehidupan ini semoga menyegarkannya kembali"] [/caption] Dia tetangga saya. Beda RT, satu RW. Namanya hanya Trubus. Tidak ada nama panjangnya. Usianya 50 tahun. Pekerjaan sehari-hari tukang batu. Tak hanya itu. Senyatanya, ia mau mengerjakan apa saja yang ditugaskan padanya. Seperti Jumat, 16 September 2011 lalu. Usai Shalat Jumat, ia diminta “nutuh” (memangkas) sebuah pohon di halaman Masjid Al Muhajirin, Perum Pamungkas, Jl Kaliurang Km 14. Tak seorang diri, ia mengajak Mas Jiman, tetangganya, untuk membantu. Mas Jiman mengawasi di bawah, Mas Trubus memanjat. Dengan tangga ia memanjat. Satu dahan sudah berhasil ia gergaji ketika beralih ke dahan lain. Menurut pengakuannya, saat memangkas dahan kedua itu sekonyong-konyong ada angin kencang. Badannya yang kecil terayun bersama dahan. Naas, dahan itu patah. Getas rupanya. Ia terhempas dari ketinggian 4 meter di permukaan cor semen. Oleh takmir masjid setempat, Mas Trubus dibawa ke seorang tukang pijit di Jalan Magelang. Kata tukang pijit itu, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, mengingat vitalnya tulang belakang, tetangga-tetangga yang menyambut di rumah usai pemijatan mengusung Mas Trubus ke RS Panti Nugroho, Pakem, untuk rontgen. Hasilnya, ada satu ruas tulang belakangnya yang patah. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah operasi. Jika tidak, kelumpuhan mengancam. Mas Trubus dirujuk ke RS Panti Rapih, Sabtu sore, setelah menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan. Satu-satunya hal yang memberatkannya adalah besarnya biaya operasi sebesar Rp 17,5 juta, belum termasuk pengobatan usai operasi. Sebagai buruh harian lepas, dari mana ia bisa memperoleh uang sebanyak itu? Asuransi kesehatan (jamkesmas) yang mestinya ia miliki pun tiada. Dan ternyata, di kampung, beberapa warga miskin lain tak memiliki jamkesmas yang meringankan mereka saat sakit. Entah kelalaian atau kesengajaan, warga miskin itu terabaikan. Kasus ini menjadi cermin dari potret negara yang gagal menjamin hak kesehatan warganya. Syukurlah, di mata kami, tetangga-tetangganya, deposito kebaikan Mas Trubus begitu melimpah. Selain tekun, hasil pekerjaan selalu bagus, tak pernah “nembung” bayaran, ia juga jujur. Jika bekerja, ia selalu melebihi kewajibannya. Datang pagi sekali, pulang menjelang maghrib. Jika belum tuntas, ia tak segan kembali ke tempat kerja usai menunaikan shalat. Mas Trubus juga “gemi”. Sepersetujuan tuan rumah yang mempekerjakannya, barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai dibawanya pulang. Keramik cuil, closet bopeng, genting pecah, dirawatnya, dipakai ulang. Ia membangun sendiri rumahnya dari material-material yang terbuang. Mengingatkan kita pada sosok Romo Mangun, yang menyulap barang bekas menjadi bangunan berkelas. [caption id="attachment_132373" align="aligncenter" width="640" caption="[Mbak Wasi (istri Mas Trubus) menerima amanah dari hamba Allah"]"][/caption] “Sing penting mari!” begitu kami mendorongnya untuk maju operasi. Soal biaya, bisa dicari. Ya, sekarang kami sedang mencarikan. Pertama-tama dari kantong kami sendiri. Selanjutnya mengetuk hati sedulur-sedulur. Takmir dan jamaah Masjid Muhajirin sangat baik, mereka pun sanggup membantu. Beberapa “klien” yang rumahnya pernah digarap Mas Trubus pun mengabarkan akan urun biaya. Dari kantong kami sendiri? Hmmm, Allah sedang mencintai kami dengan cara yang luar biasa. Dalam beberapa bulan ini silih-berganti warga kami masuk rumah sakit dengan sakit yang tak tergolong ringan. Kami yang sebagian besar adalah petani penggarap ladang pun sedang diberi rejeki seret panen karena sawah yang kering kerontang. Syukurlah, kerukunan menyatukan kami untuk tidak berputus asa. Satu kaki sakit, kaki lain menopang. Yogyakarta, 20 September 2011
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI