Saya menceritakan padamu tentang legenda Jeff Ar. Lelaki separuh baya yang pernah jaya ketika bangsa ini masih dibawah kekuasaan Orde Baru. Dia pernah menjabat sebagai kepala sebuah instansi pemerintah di Surabaya. Entah berapa penghasilannya. Yang jelas rumahnya tingkat dua, ada jeep CJ-7, herder dan alat-alat fitnes. Rumahya persis berhadap-hadapan dengan pohon mangga yang tumbuh di halaman rumah saya.
Rumah tangga Jeff tampak ideal. Jeff bapak tiga anak yang selalu pulang sebelum Maghrib. Dan berangkat kerja selepas anak-anaknya pergi ke sekolah. Istinya menunggu di rumah sambil kadang-kadang mengurus arisan PKK. Banyak tetangga yang iri, termasuk saya, ketika melihat Jeff dan keluarganya.
Jeff mulai punya wanita idaman lain. Begitu desas-desus ibu-ibu. Rumah tangga yang wang-sinawang ideal mulai goyah. Jeff sering terdengar membentak istrinya. Tidak ada perlawanan. Jeff kadang membentak anak-anaknya. Sedikit perlawanan. Anaknya minggat. Lalu kembali lagi.
Orang-orang bertanya-tanya, apa yang dimakan Jeff dan keluarganya. Bagaimana Jeff bisa bertindak seperti itu? Apakah mereka menikmati hasil curian? Ataukah Jeff merupakan keturunan preman? Ataukah rumah yang didiami Jeff membawa kutuk karena keris yang ditanam di pondasi?
Teori-teori mengenai siapa, apa, mengapa dan lain-lain berkembang, merambat, tumbuh hingga pada satu titik: Jeff terseret kasus korupsi di instansinya. Lagi-lagi kasak-kusuk ibu-bu menyebutkan kalau Jeff termasuk aktor utama. Sampai Jeff mati pun, dia tidak pernah dijadikan tersangka. Hanya saksi yang memberatkan orang lain. Lagi-lagi kasak-kusuk menghembuskan informasi jika itu taktik saja. Jeff diminta sebagai saksi tetapi diminta mengembalikan hasil korupsinya.
Segendang sepenarian. Jeff mulai menjual rumahnya yang panjangnya dua gerbong kereta dan tingginya lima kali sedan TIMOR itu. Harga yang dipatok jelas. Rp 75 juta untuk setengah bagian. Anak-anaknya juga berubah dari boneka manis menjadi serigala buas. Anak sulungnya mencuri sepeda motor tentara. Dan siang bolong puluhan polisi menggerebek rumah Jeff untuk mengeluarkan sepeda motor gado-gado - mesinnya Suzuki, rangkanya Honda lalu bagian lainnya dari Yamaha.
Anak keduanya menikah dengan putri pengusaha kaya lalu bercerai. Lelaki yang mirip bapaknya ini mulai keluar masuk kelab malam, menghabiskan berbotol-botol minuman keras, membayangkan sisa-sisa kejayaan masa lalu bapaknya hingga pada akhirnya dia mati karena terlempar dari sedan yang dikemudikan temannya yang mabuk.
Putri bungsunya menjadi penjaga warnet bergaji rendah. Ketika MIRC menjadi euforia dia ikut di dalamnya. Dia memanfaatkan jejaring dunia maya untuk mencari teman dari berbagai penjuru dunia. Singkatnya, dia lalu jatuh cinta dengan pria India lewat forum chating itu. Mereka bertemu di Bali. Perempuan ini lalu hamil. Lelaki India itu pulang ke negaranya. Dan sampai saat ini belum kembali.
Jeff menjalani hidupnya di dalam rumah yang belum terjual. Remuk hidupnya membuat Jeff tidak lagi tampak jumawa. Dulu, dia pulang kantor dengan berjalan kaki, mengenakan kaca mata hitam mirip Stallone, celana safari licin warna coklat dengan sepatu pantofel kulit mengkilap. Sekarang, tinggal sepatunya saja yang masih sama. Sisanya entah kemana.
Suatu hari tetangga ribut-ribut di rumah Jeff. Istrinya menangis sesenggukan. Pagar yang dulu ditutup mulai dibuka. Bapak-bapak datang untuk membersihkan rumah dan mengurus keranda di balai RW. Kabarnya, Jeff ditemukan tewas di kamar mandi. Tepat di hari pertama sidang anak sulungnya.
Ketika duduk-duduk di bawah pohon mangga, ibu saya selalu bilang,” Ingat le, kalau besok kerja jangan kaya Jeff Ar. Kaya boleh asal bener. Jangan pernah memberi makan anakmu dengan hasil curian. Anakmu ndak pernah jadi orang,” katanya. “Iya to?”
Entah berapa orang yang seperti ibu saya, menuturkan cerita-cerita kemalangan agar anaknya lebih berhati-hati. Atau malah lazim membungkus bakal kejahatan dengan kata-kata manis,” Oh, mau jadi pegawai negeri, mengabdi pada negara itu. Boleh-boleh. Saya kalau suruh bayar 100 juta tak apalah asal dia kerja di pemerintah.”
***
Ibu saya dan ibu-ibu yang lain mungkin tidak mengenal Thomas Jefferson yang mengatakan bahwa akar kebaikan adalah kebaikan.
Ini sebuah logika yang belum bisa disangkal. Lebih luas, mungkin begini tafsirnya: Jangan mengharapkan akan tumbuh semangat pelayanan jika awalnya sudah menyuap untuk menjadi pegawai. Jangan mengharapkan mempunyai anak yang berbakti jika nasi yang kau suapkan ke mulutnya adalah hasil curian. Jangan berharap berpikir lurus dan jernih jika nasi yang kau masukkan ke tubuhmu adalah nasi yang disemprot racun karena kau membelinya dari korupsi.
Jika ada yang memliki kisah berbeda, bolehlah disandingkan. Siapa yang memiliki daftar pejabat dan pengusaha korup yang tetap kaya dan bahagia hingga hari tuanya, mohon dibagikan. Bahkan, Jefferson pun rela bangkit dari kuburnya. Hanya untuk memperbaiki kata-katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H