Mbah Dj merasa doa menjadi kekuatannya. Anak-anaknya diberi kemudahan untuk sekolah. Dia berkisah, Emiliana Saptiningsih, anaknya yang nomer tujuh mendaftar di SMA Stella Duce I Yogyakarta. Saat itu ada lembar yang harus diisi. Salah satu pertanyaannya adalah besarnya uang sekolah yang mampu dibayar oleh siswa. Saptiningsih hanya mengisi Rp 1000. Dia diterima meskipun pada akhirnya harus menambah beberapa ribu rupiah. Padahal, tetangganya yang mengisi Rp 20.000 tidak diterima. "Mungkin itu berkah juga," katanya. " Untungnya anak-anak saya juga nerimo (menerima) kalau cuma makan nasi jagung. Kok ya hidup itu mudah sekali ya. Saya untung. Bener. Untung."
"Masak ngga pernah pengen bunuh diri mbah?"
"Mikir saja ngga," katanya. "Umur itu kesempatan le."
Saat ini Mbah Dj sedang menikmati hasil perjuangannya. Anak-anaknya berturut-turut dari yang tertua, Samini, Sri Mumpuni, Wid, Titik, Bambang (sudah meninggal), Junaedi, Saptin, Heri dan Heru sudah berhasil menjadi sarjana dan mandiri. Kehidupan mereka jauh lebih baik daripada Mbah Dj.
Mbah Dj merebahkan badannya di atas kasur pegas. Anak bungsunya, Heru Pranawa sedang menyelesaikan laporan dengan komputer jinjingnya. Cucunya, Anselmus, 9 tahun, menggambar seekor ikan hiu. Menantunya, Endang, menimang-nimang anaknya yang baru berusia beberapa bulan. Pengawal pribadi Mbah Dj, Wawa, seekor anjing teckel menungguinya di bawah tempat tidur.
Semangat Mbah Dj mengingatkan saya kepada penggalan sajak Hartojo Andangjaya.
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka. Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota. Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Semoga semangatnya menular!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H