Mohon tunggu...
Albertus Indratno
Albertus Indratno Mohon Tunggu... -

Content developer di www.gudeg.net. Content developer di hatimyu...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Analogi Kucing Pindang

14 Juli 2010   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:52 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kucing membutuhkan pindang. Saya menyayangi yang masak pindang yaitu ibu saya. Kucing-kucing ini selalu saja berusaha masuk ke dalam rumah ketika pindang goreng siap disajikan. Mereka punya radar untuk menangkap aroma dan insting hewani yang cukup baik. Saya pernah mengamati bagaimana kucing-kucing ini memperlakukan pindang. Saya meneliti perilaku kucing dengan cara berpartisipasi sebagai teman dekat kucing.

Binatang evolusi macan ini punya jam-jam biologis. Ketika menjelang siang mereka sudah menunggu dengan manisnya di bawah meja makan. Mereka mungkin merasa meja makan adalah surga dan saya malaikatnya. Kucing-kucing mengeong terus. Mereka bersenandung untuk mengiringi saya makan. Atau mereka menunjukkan bahwa ini saatnya kembali ke jaman Adam dan Hawa dimana manusia makan bersama dengan binatang.

Ada yang menarik selama saya berkawan dengan kucing. Meskipun mereka ini selalu coba memakan burung seperti kisah Sylvester dan Tweety maka ijinkanlah saya mengatakan bahwa kucing itu jinak-jinak merpati. Kadang mereka suka sok jaim dengan pindang-pindang di atas meja. Pindang itu kebutuhan primer kucing. Kebutuhan lain berupa pendidikan dan hiburan bisa terpenuhi kalau saya mengejar mereka dengan sapu dan memaki mereka dengan nama binatang lain yang lebih besar: dasar anjing, dasar dinosaurus, gajah, kingkong, biawak. Saya bermaksud agar kucingnya termotivasi menjadi binatang yang lebih baik.

Saya membiarkan tudung saji tetap terbuka. Tujuannya agar kucing bisa memakan pindang dengan leluasa. Sayangnya, kucing-kucing itu selalu mengalihkan perhatian dengan hal-hal lain. Setalah mondar-mandir di sekitar meja makan, sebentar-sebentar dia melihat ke atas meja. Dia mungkin memastikan kalau ikan pindang goreng masih tersaji di piring.

Kucing itu lalu bermain-main dengan semut-semut, kadang kucing itu menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Saya terus mengamati kucing itu. Dia berlarian kesana-kemari, naik ke atas pagar dan berhenti di bagian atas tembok lalu turun kembali. Kucing itu lalu masuk lagi ke dalam rumah. Dia melihat pindang itu. Masih ada. Kucing itu lalu berlari lagi keluar rumah.

Saya rasa semua ada batas waktunya. Saya melihat kucing itu tidak cukup tanggap untuk memenuhi kebutuhannya. Saya tutup tudung saji itu hingga malam tiba.

Kucing itu kembali. Dia lalu melihat ke atas meja makan. Pindang telah lenyap. Pindang itu tertutup dengan tudung saji. Dia lalu naik ke atas meja. Dia menjilat-jilat pinggiran meja. Dia lalu turun dan mengeong mencari-cari di bawah meja. Pindang itu belum juga ketemu. Kucing itu kehilangan segalanya.

Ada tiga hal yang saya pelajari dari penilitian semi partisipatif saya dengan kucing. Pertama, kecenderungan setengah hati. Saya juga kadang jinak-jinak merpati. Kadang iya, kadang enggak. Suam-suam kuku. Jika memang menginginkan sesuatu sebaiknya saya langsung menyikapi dengan serius bukannya mondar-mandir tidak jelas-sama seperti kucing yang cuma window shoping lihat pindang yang tergeletak.

Kedua, lupa batas waktu. Saya berpikir bahwa segala sesuatunya selalu ajeg. Padahal ada pagar pembatas bernama waktu. Waktu ini menujukkan kepada saya kapan saatnya tidur, kapan mandi, kapan piknik dan lain-lain. Jangan sampai ketika habis lalu menyesal, menyalahkan dan meminta perpanjangan waktu. 1 hari selalu 24 jam. 1 jam selalu 60 menit. Bukan lamanya waktu yang jadi persoalan tapi mau diapakan waktu itu. Gunakan sebaik-baiknya. Jangan takut gagal menghadapi tantangan waktu. Setidaknya jikalau masih gagal, kamu gagal sebagai pemberani, bukannya pengecut yang memilih diam dan menunggu saat kematian datang.

Ketiga, cintailah selagi ada. Selagi ini kata yang menakjubkan. Selagi dalam definisi saya berarti antara. Ada masa dimana sesuatu itu ada lalu menghilang, mati, rusak atau berpindah tempat. Sepeda motormu sekarang masih baik, besok pasti rusak. Sahabatmu sekarang masih sehat, besok pasti mati. Papamu, mamamu, adik-adikmu juga tidak selamanya bersama-sama denganmu. Maka, gunakan tiga rumus diatas: perlakukan mereka dengan sepenuh hati, sadarilah bahwa mereka juga akan pergi, selagi ada: cintailah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun