Sampai di rumah, dipakainya topi pesanannya. Sepanjang malam Bapak mematut diri didepan cermin lengkap dengan jas, sepatu dan topinya. Kumis khas Charlie Chaplin dibuatnya dari spidol hitam, nyaris tak kentara karena warna kulitnya sama gelapnya.
Setelah itu adalah hari-hari yang sibuk buat Bapak. Bapak mulai meniru Charlie Chaplin. Lebih tepatnya, melatih dirinya agar mirip dengan idolanya itu. Gestur saat dia berjalan, ekspresi saat dia marah, semua dilatihnya. Dan semakin hari memang semakin mirip.
Tidak berhenti sampai di situ, Bapak mulai tampil di acara-acara kampung. Dia tidak pernah absen mengisi panggung tujuh belasan, tahun baru ataupun hajatan lainnya. Pertunjukan sukarela, tanpa bayaran. Banyak yang mengapresiasi dengan tepuk tangan, lebih banyak yang menatap kasihan.
Sampai suatu ketika, kenalan Bapak yang bekerja di stasiun televisi lokal menawari Bapak mengisi salah satu acara di televisi itu. Semacam acara hiburan artis lokal. Aku menangkap wajah girang Bapak menerima tawaran itu. Dia juga minta dibelikan jas dan topi yang baru untuk keperluan acara televisi itu. "Yang lama sudah jelek, Nak," katanya dengan mengiba. Aku belikan. Lebih bagus dari yang lama.
***
Bapak tampil di acara televisi itu tidak lebih dari sepuluh menit dari durasi acara satu jam. Jauh hari dia sudah berpesan agar aku merekamnya kalau acaranya tayang.
Tiap malam ditontonnya rekaman itu dengan senyum mengembang. Paginya dia akan duduk di depan rumah, menghadang setiap orang yang lewat dan menunjukkan rekaman itu. Orang-orang itu banyak yang mengapresiasi dengan tepuk tangan, lebih banyak yang menatap kasihan.
***
"Bapak kenapa suka meniru Charlie Chaplin?"
Aku bertanya suatu malam. Bapak sedang membersihkan topinya.
"Kenapa kau tanyakan itu, Nak? Kau keberatan membelikan baju-baju itu?" Bapak balik bertanya.