Oleh : eN-Te
Nyaris dua bulan saya absen dan tidak aktif menulis serta memposting artikel di laman kompasiana. Terakhir kali saya memposting artikel (8/12/16) dengan judul: “Jangan Lupa, …”. Meski di sela-sela kesibukan, kadang-kadang saya menyempatkan diri untuk ‘menengok’ kompasiana.
Jumat (20/1/17) sore saya kembali membuka kompasiana. Setelah hampir dua minggu saya bersama istri ‘mengungsi’ untuk misi menjalankan ritual ibadah sunnah di suatu Negara. Setelah kembali dinas pada Selasa (17/1/17), saya mencoba membuka kembali kompasiana. Sayangnya sampai hari Jumat (20/1/17) pagi saya selalu gagal akses. Sehingga perkembangan kompasiana dan berbagai dinamika kontroversi dan polemic artikel yang membahas isu-isu terkini tidak sempat saya ikuti sepenuhnya.
Alhamdulillah, ketika Jumat siang menjelang sore, saya dapat mengakses kompasiana. Maka kemudian saya memutuskan untuk harus comeback! Dan saya menulis artikel kali ini berkaitan dengan fenomena hipokritisme yang menggerogoti seseorang yang terlanjur dinobatkankan oleh pengikutnya sebagai seorang ‘tokoh’.
Lanjut!
***
Dalam kearifan lokal dan juga kearifan budaya bangsa, banyak terdapat ungkapan, pepatah, dan atau peribahasa yang mengandung nasehat, peringatan, dan atau juga larangan yang tetap relevan dalam situasi dan kondisi apapun. Salah satu pepatah atau peribahasa lama yang sangat relevan dengan fenomena kekinian, khususnya dalam jagad perpolitikkan nasional hari-hari ini, berbunyi, “mulutmu harimaumu”. Relevansi ungkapan, pepatah, dan atau peribahasa lama itu tetap actual hingga hari ini.
Pepatah itu diungkapkan kembali Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya, Inspektur Jenderal (Irjen) Moch. Iriawan. Irjen Moch. Iriawan, ketika menyentil salah seorang (sebut saja si Brisik) yang selama ini paling getol memobilisasi massa atas nama penistaan agama menyuarakan untuk memenjarakan seseorang atas ucapan atau pernyataan yang dikeluarkannya. Mungkin saking semangatnya berteriak garang dan berharap aparat penegak hukum menjadi kecut sehingga segera menangkap dan memenjarakan seseorang atas ucapannya, yang dinilai telah dengan sengaja ‘menistakan’ agama mayoritas, kemudian tanpa sadar dan sedikit terlena, lupa menjaga lisannya sendiri.
Maka untuk supaya dapat sedikit menyadarkannya dari ‘ketidaksadaran’-nya itu, Kapolda Metro merasa perlu menyentilnya dengan ungkapan sindiran itu. Mungkin juga merasa tersentil, sehingga yang bersangkutan, tanpa disangka dan diduga, berubah menjadi melempem. Sebuah sikap yang tidak menunjukkan ‘karakter’ aslinya, garang dan keras. Ada semacam anomali, seakan menunjukkan sikap yang sangat terbalik. Berubah nyaris 180 derajat.
Padahal ketika di atas kendaraan ‘kehormatannya’ di tengah-tenagh massa, ia dengan lantang dan garang berteriak, ‘tangkap dan penjarakan’! Dengan semangat 45 dan energy yang seakan tak pernah habis, si Brisik mencoba mengagitasi, memprovokasi, menghasut, dan memanipulasi emosi massa, untuk bergerak dan bergerak. Tujuannya jelas dan terarah, berharap menjungkalkan lawan dengan menggunakan tangan orang lain sambil mengkapitalisasi kebencian massa dengan isu-isu agama.
***