Oleh : eN-Te
[caption id="attachment_379941" align="aligncenter" width="600" caption="sumber pengambilan gbr. : anekainfounik.net"][/caption]
Dunia mungkin sudah mendekati akhir usia. Banyak hal yang secara logika waras yang seharusnya tidak perlu terjadi malah dipraktekkan secara telanjang di depan kita. Rasa keadilan publik kini terabaikan oleh nurani yang semakin tumpul. Atas nama bunyi teks harafiah undang-undang yang diterjemahkan secara rigid, para pemilik palu keadilan, ‘hakim yang mulia’, sampai pada suatu kesimpulan bahwa tujuh potong kayu jati harus ditebus dengan satu tahun penjara dan denda uang 500 juta rupiah. Sebuah harga yang sangat fantastis untuk tujuh potong kayu jati. Satu tahun dan 500 juta rupiah bagi seorang nenek renta, Nenek Asyani. Jangankan pernah memegangnya, untuk membayangkan nilai uangnya saja, Nenek Asyani tidak pernah terlintas.
Sungguh sebuah ironi keadilan yang dengan keras telah menampar wajah kita semua, anak negeri ini yang masih cinta pada kebenaran dan keluhuran nurani. Di tengah gegap gempita pidato Presiden Jokowi berteriak mengajak negara-negara Asia Afrika agar bersama-sama melawan ketidakadilan dunia, ternyata di “emperan rumah” di depan mata kita, masih menyaksikan paradoksal yang menyayat hati. Seorang nenek uzur, yang seharusnya di sisa-sisa usia yang semakin mendekati titik finis, bertafakkur sambil menyibukkan diri dengan memperbanyak menyebut asma Allah SWT sebagai wujud pengabdiannya sebagai abduh, Nenek Asyani malah mendapati kenyataan hidupnya demikian pahit dan sangat getir. Kenyataan mana, bukan atas kemauan dan kesadaran personal, tetapi lebih pada faktor eksternal, atas nama penegakkan hukum dan ambisi para pemilik modal. Dan pemilik modal itu, adalah PT. Perhutani, yang nota bene adalah corporate (perusahaan) plat merah. Karena sebagai sebuah corporate, mestinya punya kewajiban sosial untuk “menghidupi” masyarakat di sekitarnya. Alih-alih menunjukkan kewajiban sosial, yang antara lain “mengkompensasi” melalui dana corporate social responsibilty (CSR), malah menunjukkan arogansi tanpa nalar.
Apakah hukum dan penegakkan hukum itu, semata-mata bunyi teks tertulis pasal-pasal dalam undang-undang secara an sich? Tidakkah dalam bunyi teks undang-undang di samping mengandung makna eksplisit, juga memuat makna implisit? Bukankah dalam kandungan makna implisit itu para pemegang palu keadilan harus pula dengan sungguh-sungguh mencari dan menggali makna hakiki rasa keadilan (masyarakat)?
Suka atau tidak suka, kita harus mengakui fakta bahwa pada bagian lain dari parade penegakkan hukum negeri ini, tidak berlaku posisi simetris antara satu kasus hukum dengan kasus hukum lainnya. Jika seorang nenek uzur, kalau pun itu terbukti mengambil tanpa hak, beberapa potong kayu (jati) dan diberi ganjaran demikian “berat” (dilihat dari faktor usia dan kemampuan finansial), pada kasus-kasus yang lebih “mencengangkan” malah berakhir dengan antiklimaks. Para bandar narkoba dan koruptor masih bisa ternyum lega sambil ketawa-ketiwi di depan publik setelah divonis. Sementara Nenek Asyani, harus berteriak histeris di depan ‘hakim yang mulia’ semata-mata ingin menyatakan (memang) ia tidak bersalah. Dan tidak ada seorang pun yang peduli, kecuali pengacaranya (mungkin?), apalagi negara. Tapi sebaliknya, hal itu tidak berlaku bagi para bandar narkoba dan koruptor.
Bahkan pada kelompok kedua ini, khususnya bandar narkoba, meski telah membuat kesengsaraan yang bersifat struktural, tokh masih banyak kelompok-kelompok dari anak negeri ini, berteriak dengan lantang atas nama hak asasi manusia (HAM) menentang hukuman mati. Mereka begitu peduli terhadap nasib hidup satu dua orang bandar narkoba yang divonis mati, tapi dengan sengaja dan vulgar mengabaikan hidup jutaan generasi anak bangsa yang telah terpapar narkoba. Mereka begitu bersemangat dan tak henti-henti memberi cap buruk terhadap pemerintah yang dengan tegas lebih memilih membela kelanjutan hidup dan menyelamatkan jutaan anak negeri, tapi malah berkoar-koar tak keruan memperjuangkan hidup seseorang yang ghalibnya tidak pernah menghargai nilai kehidupan.
Kenelangsaan Nenek Asyani adalah potret buram penegakkan hukum di negeri ini. Entah sampai kapan kenelangsaan seperti yang dialami Nenek Asyani akan terus terulang? Jika para penegak hukum (ya polisi/penyidik, jaksa, dan hakim) masih tetap terpaku pada bunyi teks undang-undang dan lebih memilih untuk menghukum daripada membuat terobosan hukum. Maka jangan heran, nasib yang sama akan tetap dialami oleh Nenek Asyani-Nenek Asyani lainnya. Pada drama Nenek Asyani ini pun kita seakan dipaksa untuk mencari dan bertanya, di mana peran negara. Sampai pada vonis yang dibacakan hakim kemarin (Kamis, 23/04/2015), negara seakan alpa hadir, walau hanya sekedar untuk memberi spirit. Pada beberapa waktu yang lalu, penulis juga sudah membuat artikel tentang Nenek Asyani, yang bersimpuh memohon ampun (http://hukum.kompasiana.com/2015/03/13/nenek-asyani-pun-bersimpuh-memohon-ampun-711763.html). Harapan penulis, agar banyak orang, terutama negara dapat hadir dan tergerak untuk bersama-sama, sekurang-kurangnya memberi perhatian terhadap kasusnya. Dengan begitu, di ujung kasusnya dapat berakhir bahagia (happy ending). Tapi rupanya, harapan penulis itu, jauh panggang dari api. Duh negeriku, sampai kapan engkau hadir dan memutus mata rantai ketidakadilan yang menggurita ini?
Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 24 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H