Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ruhut Sitompul (Juga) Menelikung SBY?

1 Oktober 2014   17:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:48 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14121353861444327239

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_345300" align="aligncenter" width="289" caption="Ruhut "][/caption]

Drama pengesahan RUU Pilkada oleh DPR RI telah usai. Hasilnya pun sudah diketahui, RUU Pilkada yang menjadi inisiasi Pemerintahan SBY telah disahkan oleh DPR menjadi UU Pilkada oleh DPRD dalam sidang paripurna, Jumat Dinihari, 25 September 2014. Atas hasil keputusan tersebut,  Presiden menyatakan menghormati proses yang berlangsung di DPR, tetapi pada saat yang bersamaan SBY juga menyatakan kekecewaannya terhadap hasil keputusan DPR tersebut (lihat di sini ). Sikap SBY yang berbeda dengan sikap Fraksi Demokrat (FD) ini menimbulkan tanya publik dan menjadi kontroversi baru. Kontroversi tersebut sampai hari ini masih saja berlangsung, dan entah kapan akan berakhir belum dapat diprediksi.

***

Peta kekuatan pendukung Pilkada Langsung dan Pilkada melalui DPRD berubah total setelah FD memutuskan untuk meninggalkan (walk out) dari ruang sidang paripurna DPR. Sebelum FPD menyatakan walk out dan tidak ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan melalui mekanisme voting, peta kekuatan masih dikuasai oleh partai pendukung Pilkada Langsung, dengan asumsi bahwa FD juga ikut mendukung Pilkada Langsung, meski dengan embel-embel 10 syarat perbaikan. Akan tetapi, ekspektasi yang sangat tinggi para pendukung Pilkada Langsung kemudian buyar seketika setelah juru bicara FD, Benny Kabur Harman membacakan pernyataan FD untuk walk out, karena FD merasa 10 point usul perbaikan terhadap RUU Pilkada Langsung yang bersifat mutlak, kumulatif, dan konstitutif, tidak diakomodir oleh sidang paripurna DPR. Maka sesaat setelah FD menyatakan walk out, terjadi “kepanikan” di ruang sidang paripurna DPR, terutama fraksi-fraksi pendukung Pilkada Langsung. Hal itu karena sikap FD yang di luar dugaan (unpredictable) yang secara “tiba-tiba” lebih memilih meninggalkan ruang sidang (walk out) daripada tetap mengikuti sidang paripurna untuk menetapkan RUU Pilkada melalui mekanisme voting sampai selesai dengan dua opsi, Pilkada Langsung dan Pilkada oleh DPRD.

Meski menyatakan kecewa karena merasa “ditinggalkan” oleh FD, Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan (FDIP), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), dan Fraksi Hanura (FH) tetap menyatakan sikap untuk terus mengawal proses demokrasi dengan memilih bertahan dalam ruang sidang paripurna dan tetap berjuang menggolkan Pilkada Langsung. Akan tetapi, seperti sudah diprediksi, setelah “ditinggal pergi” oleh FD, faksi-faksi pendukung Pilkada Langsung kalah dalam “pertarungan” voting penentuan sikap antara dua opsi menerima atau menolak Pilkada Langsung atau Pilkada melalui DPRD. Melalui proses voting, Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai representasi partai-partai pendukung dan pengusung Capres nomor urut 1 kemudian memenangkan “pertarungan”, mengalahkan faksi pendukung Pilkada Langsung, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dikoordinir oleh FDIP, dengan perbandingan suara 135 : 226 suara. Selisih suara yang cukup signifikan, yakni 91 suara, meski faksi pendukung Pilkada Langsung sudah mendapat “subsidi suara” dari enam (6) anggota FD yang tidak ikut walk out dan 11 anggota Fraksi Golkar (FG) yang “mbalelo”.

Gamawan Fauzi, sang Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang merupakan representasi Pemerintah yang hadir dalam proses penentuan sikap fraksi dan anggota dewan, dalam pidatonya menyatakan mengapresiasi dan menghormati proses dan hasil rapat sidang paripurna DPR. Mendagri tidak secara eksplisit menyebutkan secara tegas bahwa Pemerintah menerima dan menyetujui hasil keputusan Dewan yang menetapkan UU Pilkada oleh DPRD. Dalam konteks inilah kemudian muncul tafsir bahwa hasil keputusan dewan yang menetapkan Pilkada oleh DPRD tidak secara otomatis berlaku jika tidak disetujui oleh Presiden. Dalam perkembangan terakhir, Presiden SBY setelah mendapatkan beberapa “nasehat” (advis) dari beberapa orang yang berkompeten (antara lain, Ketua MK dan Prof. Yusril), lebih memilih tetap menandatangani naskah UU Pilkada oleh DPRD yang telah disahkan oleh DPR, meski kemudian berselang tidak terlalu lama, Presiden juga mempersiapkan kemungkinan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk “membatalkan” berlakunyan UU Pilkada oleh DPRD (baca di sini). Apakah kemungkinan kedua, yang disebut oleh Presiden sebagai Plan B, setelah Plan A untuk tidak menandatangani UU Pilkada oleh DPRD tidak berjalan sebagaimana saran Prof. Yusril akan terwujud, kita masih harus menunggu beberapa hari ke depan.

***

Kembali kepada topik kita kali ini tentang Ruhut “Poltak” Sitompul. Ruhut “Poltak” Sitompul saat ini merupakan anggota Partai Demokrat sekaligus merupakan anggota FD di DPR. Pria kelahiran Medan, 24 Maret 1954 ini sebelumnya merupakan seorang pengacara, juga sebagai pemain sinetron (baca di sini).  Keterlibatannya dalam Sinetron Gerhana, telah melambungkan namanya, yang kemudian menjadi sangat familiar di telinga publik Indonesia, dengan nama Poltak si Raja Minyak dari Medan. Karena itu pada namanya, kadang-kadang, biar kelihatan lebih “ngeh” ditambahkan di tengah namanya antara Ruhut dan Sitompul dengan kata “Poltak”.

Sebelum Ruhut menjadi politisi FD, ia sebelumnya bergabung dalam Partai Golkar, waktu itu DPP Partai Golkar masih dikemudikan Akbar Tanjung, dengan menduduki salah satu posisi Ketua Departemen. Namanya cukup dikenal waktu itu, ketika wara wiri mendampingi Akbar Tanjung menghadapi masalah Buloggate. Ruhut mulai bergabung dengan Partai Golkar sejak 1983, sebelum ia memutuskan hengkang ke Partai Demokrat pada tahun 2004. Pada saat yang bersamaan ketika Pemilihan Umum 2004 ia pun terpilih dan melenggang kangkung ke Senayan menjadi salah satu anggota dewan dan bergabung dalam FD.

***

Sepak terjang Ruhut “Poltak” Sitompul dalam kancah perpolitikan Nasional setelah ia menjadi anggota Dewan cukup membuat dinamika politik Nasional menjadi riuh rendah, jika tidak mau dikatakan membuat kegaduhan politik. Bahkan dalam berbagai momentum dan peristiwa politik, kadang-kadang Ruhut keluar sebagai “bintang”, terutama pada acara-acara sidang di Senayan. Lihat saja, bagaimana sikap Ruhut pada saat rapat-rapat Panitia Khusus (Pansus) yang berkaitan dengan Bank Century. Bukan Ruhut namanya jika tidak membuat atmosfir sidang menjadi panas, bahkan membuat lawan debatnya menjadi merah kupingnya.

Sebagaimana tipikal orang Batak, yang berwatak keras, ceplas ceplos, dan tidak tedeng aling-aling, Ruhut tidak ingin berlindung dibalik rasa ewuh pakewuh ketika ia ingin  melontarkan pernyataan, pendapat, dan kritikan, baik terhadap kawan apalagi jelas-jelas sebagai lawan. Karakteristik yang khas inilah, sehingga dapat dipahami bahwa seorang Ruhut seakan-akan “menantang” kesantunan publik, seenak udelnya menyampaikan pendapat maupun kritik tanpa mempertimbangkan realitas sesungguhnya, baik itu realitas politik maupun realitas sosial budaya. Maka kemudian publik merasa wajar ketika Ruhut menyerang Prof. Gayus Lumbuun di rapat Pansus Bank Century lalu dengan  menggunakan kata-kata kasar. Bahkan terhadap Wakil Presiden (waktu itu) Jusuf Kalla pun di depan sidang dewan yang terhormat, dia menyapanya dengan sebutan Daeng. Inilah salah satu “ciri” Ruhut yang kurang memahami nilai-nilai sosial budaya di mana seharusnya ditempatkan.

Tapi satu hal yang belum pernah terlihat dari sikap Ruhut, sebelum aksi walk out-nya bersama anggota FD lainnya pada sidang paripurna pengesahan (R)UU Pilkada lalu, adalah ketidakmampuannya “menembak” SBY secara langsung. Alih-alih mau “menembak” SBY bahkan keluarga SBY, dalam berbagai kesempatan Ruhut malah habisan-habisan membela dan menyanjung-nyanjung SBY  setinggi langit. Karena sikapnya yang cenderung lebay dalam membela SBY dan keluarganya, ia kemudian kadang-kadang dicap sebagai “penjilat” kelas kakap.

Pertanyaan kemudian muncul adalah apakah sikap Ruhut telah berubah terhadap SBY dengan ikut aksi walk out bersama anggota FD lainnya? Apakah sikap Ruhut “Poltak” Sitompul yang juga ikut walk out pada saat-saat menentukan pengambilan keputusan tentang (R)UU Pilkada dapat mengindikasikan Ruhut tidak lagi menjadikan SBY sebagai patron politiknya? Apakah Ruhut juga sudah ingin meninggalkan SBY ketika ia tahu rezim SBY sudah akan berakhir? Pertanyaan ini penting dan relevan diajukan untuk melihat konsistensi sikap Ruhut “Poltak” Sitompul dalam kontroversi pengesahan (R)UU Pilkada menjadi UU Pilkada oleh DPRD.

Di mata publik, FD dan mungkin Ruhut, yang dengan “sengaja” meninggalkan ruang sidang paripurna  tidak lagi merasa bahwa SBY masih mempunyai daya tarik (magnet) yang cukup kuat untuk mempengaruhi sikap mereka, meski sebatas pengaruh psikologis sekalipun. Mungkin bagi anggota FD dan juga Ruhut, kecuali enam anggota FD yang tetap bertahan dalam ruang srapat paripurna, SBY sudah akan mulai masuk masa sandyakalaning, dan karena itu tidak lagi mempunyai pengaruh magis, sehingga tidak perlu lagi didengarkan. Lihat saja bagaimana sikap Ketua FD, Nurhayati Ali Assegaf, yang tanpa koordinasi dengan Ketua Umum Partai Demokrat, yang dalam hal ini, SBY, mengambil inisiatif sendiri memerintahkan FD untuk melakukan walk out (baca di sini).

Bukan Ruhut “Poltak” Situmpul namanya jika tidak punya trik untuk berkelit dari indikasi-indikasi bahwa ia telah dengan sengaja meninggalkan SBY. Simak saja apa kata Ruhut ketika dimintai konfirmasi atas sikap ikut walk out oleh wartawan. Menurut Ruhut, sesaat setelah Juru Bicara FD menyampaikan sikap walk out dari ruang rapat paripurna, kemudian dia berinisiatif menghubungi SBY untuk melakukan konfirmasi langsung kepada SBY. Tapi karena handphone (HP)-nya lobet, maka dia tidak bisa melanjutkan berkomunikasi dengan SBY, dan memutuskan keluar mencari sumber listrik untuk mencharge HP-nya. Ketika dia sudah berada di luar, dia melihat teman-teman anggota FD sudah berkumpul di luar sidang, sehingga dia memutuskan untuk ikut bergabung.

Sebelumnya juga kepada wartawan, Ruhut “berkelit” bahwa dia mengaku kebingungan saat Juru Bicara FD Benny Kabur Harman menyampaikan FDwalk out. Dalam kondisi tersebut dia pun sempat mengonfirmasinya ke beberapa anggota Fraksi Partai Demokrat, termasuk Max Sopachoa. Berdasarkan hasil konfirmasi itu, dia memperoleh penjelasan bahwa memang ada SMS dari SBY yang menginstruksikan FD walk out. Karena itu, Ruhut mengaku, akhirnya memutuskan untuk turut serta keluar dari ruang sidang (baca di sini). Bagi Ruhut, sebagai “loyalis sejati”, apapun instruksi SBY, harus ditaati. Tapi, setelah ia mendengar bahwa SBY juga merasa sangat kecewa dengan hasil rapat paripurna yang menetapkan UU Pilkada oleh DPRD, ia pun merasa bingung, entah itu bingung karena ingin tetap menjadi “loyalis sejati” SBY atau itu hanya sekedar apologi dari orang yang kepepet. Meski tentang SMS SBY kepada Ketua FD, Nurhayati Ali Assegaf dibantah oleh Max Sopachoa (lihat di sini).

Belakangan Ruhut malah mengaku terkejut ketika dia mengetahui bahwa SBY juga merasa kecewa atas hasil rapat paripurna DPR yang menetapkan Pilkada oleh DPRD (lihat di sini). Patut dicermati “akrobat politik” apalagi yang akan dilakukan oleh Ruhut “Poltak Si Raja Minyak” Sitompul pada hari-hari selanjutnya setelah hari ini dia bersama anggota dewan yang lainnya dilantik untuk periode 2014-2019. Apakah aksi walk out Ruhut bersama FD sebagai pertanda awal dia akan berpisah dengan patron politiknya, yakni SBY. Ataukah sebaliknya, SBY mempunyai cukup keberanian untuk memberikan sanksi terhadap para anggota FD yang melakukan walk out, termasuk terhadap Ruhut? Atau malah Ruhut semakin gigih membela SBY bila seandainya SBY benar-benar jadi mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU Pilkada oleh DPRD, sehingga Pilkada Langsung akan tetap berlangsung sebagaimana juga yang sejak awal didukung oleh Ruhut? Patut kita tunggu, ...!

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 01 Oktober 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun