Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Paranoia Kaum Penghayal (Bagian 2)

14 Februari 2015   17:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:11 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : eN-Te

I

Pada tulisan yang pertama (baca di sini), penulis sudah menguraikan sedikit bahwa saat ini ada kelompok-kelompok sosial (tertentu) dari bangsa ini terus ingin memperjuangkan berlakunya penerapan syariah (Islam) secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan dalam sebuah sistem pemerintahan yang disebut khilafah. Mengapa hal itu dianggap penting karena dalam pandangannya, sistem khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang paling baik, yang paling sempurna, serba meliputi (inklusif), berlandaskan pada syariah yang diturunkan oleh Allah SWT. Karena sistem pemerintahan yang didambakan ini merupakan titah langsung Sang Pencipta, yang dijabarkan dalam syariah, maka sudah pasti  memuat aturan tata nilai yang sangat sempurna. Hal itu berarti, mengabaikan sistem pemerintahan khilafah yang berlandaskan syariah merupakan sebuah tindakan yang sungguh-sungguh mengingkari tugas kekhalifaan sebagai makhluk Allah SWT.

Sampai di sini, sebagai muslim, penulis sangat sepakat dan mendukung penuh, cita-cita yang sangat mulia ini. Akan tetapi, dalam hakekatnya sebuah negara terbentuk karena bergabung atau bersatunya beragam kelompok sosial yang mendiami suatu wilayah yang memiliki kesamaan tujuan. Berdasarkan teori terbentuknya sebuah negara, negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia (sumber).

Dalam batasan tersebut, terkandung paling sedikit empat hal, yakni 1) negara merupakan suatu organisasi; 2) terbentuk dari beberapa kelompok manusia (kelompok sosial, etnis, budaya, dan agama), 3) kelompok-kelompok sosial tersebut mendiami suatu wilayah teritori tertentu; dan 4) karena mereka memiliki suatu kesamaan tujuan, menyepakati untuk menyerahkan segala urusan untuk menjamin tata tertib dan tata kelola kepada sekelompok orang yang dianggap cakap dan ahli untuk memimpin, yang disebut pemerintah. Karena negara terdiri dari beragam kelompok sosial (etnis, budaya, dan agama) maka setiap keputusan untuk menerapkan suatu sistem pemerintahan, haruslah senantiasa mempertimbangkan latar belakang dan kepentingan setiap kelompok sosial yang ada, sebagai warga bangsa. Adalah tidak arif ketika dalam keberagaman itu, ada kelompok dominan (mayoritas) ingin “memaksakan” kehendak politiknya sendiri untuk menerapkan sebuah sistem nilai, yang menurut pandangannya sesuai syariah, menjadi sebuah sistem pemerintahan. Menjadi hal yang wajar bila keinginan itu direspon secara positif dan diterima (secara bulat) oleh kelompok-kelompok sosial lainnya, maka hubungan kebangsaan akan berjalan harmonis. Tidak ada riak-riak yang menjadi problem yang akan menghambat jalannya sebuah pemetintahan secara efektif untuk mencapai kesejahteraan bersama. Mengantarkan seluruh warga bangsa menuju suatu harapan menjadi sebuah bangsa yang baldatun thoiyyibatun wa rabbun ghafuur.

II

Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar sangat ideal di dunia ini. Yang pasti adalah Sang Khalik, Pencipta. Di luar itu, adalah fana (sementara). Jika ada yang beranggapan bahwa itu ada, dan kerana itu ingin memperjuangkan untuk menghadirkan “obsesi” itu, maka pada hakekatnya mereka terjebak pada perangkap utopis. Di mana memiliki keinginan terpendam di alam bawah sadar, tetap menginginkan sebuah sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan yang sebenarnya. Mereka terus-menerus bermimpi dan berkhayal sehingga membuat perasaan mereka dihinggapi rasa ketakutan yang berlebihan pada obyek yang tidak jelas (paranoia).

Maka yang muncul kemudian adalah sikap-sikap defensif, reaktif, dan resisten terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil dan dijalankankan oleh sebuah pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi. Apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, jika menurut pandangan mereka dianggap bertentangan dengan nilai-nilai ideal yang menjadi obsesi kelompoknya, maka dicurigai sebagai ancaman akan eksistensi mereka.

Muncul kemudian sikap-sikap resisten terhadap berbagai upaya dan ikhtiar pemerintahan yang sah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga bangsa. Maka tak heran bila kita membaca dan mengikuti berita, bagaimana resistensi sekelompok warga DKI Jakarta (kata mereka mewakili aspirasi umat Islam), menolak Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) menjadi Gubernur (baca di sini)  menggantikan Jokowi, yang telah naik pangkat menjadi Presiden. Berbagai alasan dan argumentasi dikemukakan untuk merasionalisasi sikap resisten mereka terhadap kepemimpinan Ahok. Mulai dari alasan konstitusi(onal) sampai kepada alasan yang bersifat primordial (menggunakan sentimen keagamaan dan etnis sebagai landasan penolakan).

Jauh sebelum Ahok yang harus menggantikan Jokowi menjadi Gubernur, penolakan juga dilakukan oleh sekelompok orang, sebut saja yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) terhadap penunjukkan atau pengangkatan seseorang warga negara, yang kebetulan beragama bukan agama mayoritas warga, Susan (Jasmine Zulkifli) menjadi Lurah Menteng Agung. Padahal sebagai warga negara, Susan juga mempunyai hak konstitusional untuk ditunjuk memimpin sebuah daerah adminstratif setingkat kelurahan. Saya menduga, rupanya penolakan terhadap Susan, lebih disebabkan kekhawatiran akan tergerusnya keimanan warga mayoritas yang beragama Islam. Ada kecurigaan penunjukkan Susan memiliki misi khusus dan tersembunyi, yakni “menghidupkan” kembali kristenisasi. Secara tidak sadar, sebenar menujukkan sikap diskriminatif tsebagai warga negara (link terkait).

Sikap-sikap sebagaian umat Islam “puritan” dan konservatif, yang diwakili ormas-ormas eksklusif, sebut saja FPI dan ormas sejenis lainnya tidak hanya berhenti sampai di situ. Penolakan paling keras dapat kita saksikan pada isu akan naik pangkatnya Ahok dari Wakil Gubernur menjadi Gubernur DKI Jakarta. Promotor utama dari gerakan penolakan terhadap Ahok ini adalah siapa lagi, kalau bukan FPI. Ormas dengan ciri khas jubah dan sorban putih berlilit di kepala. Bagi kelompok ini, Ahok tidak pantas memimpin Jakarta. Alasan utamanya adalah karena pada diri Ahok terdapat dua label “minoritas” sekaligus, yakni minoritas agama dan minoritas etnis. Ahok sebagai orang yang menganut keyakinan Kristen dan juga Ahok sebagai warga keturunan (etnis) Tionghoa (China). Lucunya lagi, orang-orang yang getol menyuarakan penolakan terhadap Ahok adalah mereka-mereka yang juga warga keturunan. Ahok keturunan ‘etnis’ China, yang satu, penolak, keturunan ‘etnis’ Arab. Entah mengapa, yang etnis Arab merasa lebih berhak “memiliki” Jakarta, dibanding Ahok atau Jasmine yang beretnis China dan Kristen. Jadilah ini sebuah dagelan yang tidak lucu  yang secara vulgar dipertontonkan oleh sebagian umat Islam di negeri ini. Mestinya sesama “bus kota” jangan saling mendahului.

Lagi-lagi hal ini dikaitkan dengan isu kristenisasi. Dalam beberapa kasus kebijakan Ahok, isu kristenisasi ini selalu mengemuka. Sebut saja, tentang kebijakan Ahok yang menerbitkan aturan melalui SK Gubernur tentang penertiban pemotongan hewan kurban. Sebelumnya berkembang pula wacana pehapusan cuti lebaran dan larangan tabliq akbar. Padahal dalam kebijakan-kebijakan tersebut, semata-mata berdasarkan pertimbangan kesehatan, keselamatan, dan ketertiban bersama.

Kemunculan  Ahok dalam perpolitikan tanah air telah menghadirkan pula tema cerita yang tak pernah kering.  Sosoknya yang menyandang dua label minoritas, sebagai warga keturunan, Tionghoa (China) dan sekaligus beragama Kristen telah memberikan inspirasi pada banyak orang bagaimana seharusnya bersikap dalam politik mainstream (arus utama) yang menuntut keseragaman. Prinsip hidupnya yang cenderung menentang arus yang tak kenal kompromi semakin menahbiskan dirinya sebagai sosok kontroversial.

Sejak kemunculannya di panggung politik Nasional, terutama dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur DKI Jakarta, Ahok telah memberikan warna dan dinamika tersendiri. Kehadirannya yang membawa dua label minoritas sekaligus, telah membuat sebagian kalangan merasa jengah karena “dilangkahi”. Dalam arus utama (mainstream) pemahaman politik publik, adalah hal yang tabuh bagi seorang calon kandidat yang akan diusung untuk menduduki jabatan politik tertinggi pada salah satu daerah teritorial tertentu setingkat provinsi, apalagi daerah provinsi tersebut sekaligus merupakan Ibu Kota Negara, memiliki label minoritas. Apalagi label minoritas tersebut tidak hanya satu melainkan dua sekaligus, minoritas secara etnis dan juga agama.

Dengan label sebagai warga keturunan, apalagi beretnis Tionghoa saja masih terasa sangat sulit untuk bisa mendapat perlakuan yang sama, apalagi harus ditambah dengan label minoritas secara agama. Maka lengkaplah sudah, tertutup semua kran politik yang dapat digunakan oleh seorang Ahok untuk dapat mengekspresikan kehendak sosial politiknya secara bebas dan bertanggung jawab. Apapun yang dilakukan oleh seorang Ahok, pasti menimbulkan kontroversi dan polemik. Karena Ahok itu, sendiri kontroversi.

Lain lagi dengan penunjukkan orang-orang yang akan menempati suatu posisi tertentu dalam pemerintahan. Meski penunjukkan dan pengangkatan seseorang pada posisi tertentu melalui proses yang panjang dan pertimbangan profesionalitas, kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas, dan kompetensi, tetap saja masih “dicurigai” sebagai telah disusupi oleh kepentingan kelompok minoritas. Yang paling gampang ditunjuk hidung sebagai misi tersebunyi itu, ya isu kristenisasi. Lagi-lagi isu kristenisasi menjadi kambing congek, alias kambing hitam.

Begitu pula dengan hubungan kemanusian dalam interaksi sosial antar warga bangsa, tidak luput pula dari sikap curiga dan antipati. Sebut saja ucapan selamat Natal kepada warga negara, umat yang beragama Kristen. Juga perayaan momen-momen tertentu, seperti hari Valentine, merayakan ulang tahun, dan acara-acara sejenis lainnya. Dengan mudahnya kita mencap orang atau kelompok yang melakukan itu sebagai kafir. Lepas dari sejarah lahirnya momen-momen perayaan tersebut, sepanjang hal itu tidak menggerus keyakinan ketauhidan seseorang, mestinya tidak menjadi sebuah hal yang perlu dipedebatkan, apalagi sampai harus mengkafirkan. Sedikit-dikit kafir, sedikit-dikit kafir.

III

Kekhawatiran itu boleh-boleh saja sebagai antisipasi, tetapi jika berlebihan akan menjadi sesuatu yang mengada-ada. Sebab jika landasan berpikir kita hanya digerakkan oleh halusinasi, maka setiap apa yang ada (meski itu obyek tidak jelas) dianggap sebagai sesuatu yang mengancam (paranoid). Padahal belum tentu semua persoalan harus ditanggapi secara su’udzon (berprasangka buruk), karena bisa jadi padanya terkandung manfaat dan kemaslahatan yang besar dan sangat berguna bagi sesama.

Bangsa ini terlalu besar dan berarti jika terus menerus diombang-ambingkan dalam isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Hendaknya sebagai sebuah bangsa besar yang bermartabat, semua potensi anak bangsa dikerahkan untuk membangun secara bersama demi kemajuan dan kemaslahatan seluruh negeri. Terlalu sayang kalau bangsa ini terus menerus dipusingkan oleh isu-isu primordial yang sudah usang, yang hanya akan membuat kita terpuruk dalam prasangka dan perlakuan diskriminatif. Sebagai penutup saya ingin mengatakan, sebagai muslim, saya percaya bahwa ada moral Islam yang sangat agung, yang perlu kita pedomani dan pegang tegus, yakni bersikap adil (kepada siapaun, baik kawan maupun lawan). Karena adil lebih dekat kepada TAQWA.

Yaa sudah, begitu saja, selamat membaca! Wassalam

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 14  Februari  2015

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun