Oleh : eN-Te
Nun jauh di sana, terdengar informasi tentang gonjang ganjing “perdebatan” tentang relevansi sistem nilai tradisi dibandingkan dengan norma agama (syariat). Konon pada kondisi aktual hari ini, di negeriku yang tandus nan gersang, Lamakera, tapi dari rahimnya telah melahirkan orang-orang “besar dan ternama”, sedang gundah gulana. Apa lacur? Sebabnya, karena keinginan untuk memenuhi nafsu primitif libido hewani, mereka yang sangat terdidik dan intelek, atas nama keilmuan, dengan pongah dan sombong, hadir sambil berteriak mengatakan, “jika syariat tidak melarang, mengapa tidak?”
Tradisi yang diulang-ulang kemudian bermetamorfosa menjadi adat dan budaya. Sudah pasti sesuatu (kebiasaan) yang dipraktekkan secara terus menerus dan turun temurun tanpa mendapat resistensi sosial sehingga membentuk tradisi (adat), jelas tidak bertentangan dengan norma syariat (ketentuan agama).
Ketika tradisi, yang merupakan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat itu berbenturan dengan kepentingan sesaat (temporary interest), pertanyaannya adalah mengapa pula tradisi yang harus di(per)salahkan? Adakah praktek yang selama ini dijalankan menjadi kebiasaan berulang itu bertentangan dengan syariat? Jika bertentangan dengan syariat, mengapa pula terus dibiarkan sehingga menjadi (membentuk) tradisi?
***
Saya yakin bahwa semua kita yang lahir dan hadir melalui rahim negeri tandus nan gersang itu sepakat bahwa tidak ada yang salah dari semua praktek kebiasaan yang menjadi tradisi yang dijalankan selama ini. Kalau ada efek negatif, ya. Tapi, sejauh apa yang kita lihat hari ini, implementasi “kebiasaan berulang itu”, kemudian disebut tradisi (adat dan budaya) tadi tidak sampai membuat kehidupan sosial dalam sebuah komunitas Lamakera itu menjadi “berantakan”, kemudian ujug-ujug ada yang mengatakan bahwa tradisi itu sudah usang, tidak mutakhir (outof date), maka itu tidak relevan, buat saya itu salah alamat. Apalagi sampai men-judge bahwa tradisi itu salah, karena menyalahi aturan ilahi (syariat), meski pada kenyataan faktualnya tidak bertentangan.
Sampai hari ini, dalam sistem nilai yang disepakati sebagai tradisi adat di negeriku yang tandus nan gersang itu, ada praktek yang disebut palae rawwe. Institusi palae rawweini berlaku dan dipraktekkan tidak hanya di negeriku, Lamakera, tapi hampir pada semua entitas Lamaholot. Dan dalam tataran implementasi tidak bertentangan dengan norma agama (syariat).
***
Pernyataan di atas mungkin juga masih debatable. Tapi, mengapa pula atas nama keilmuan, institusi palae rawwe ini belakangan ini malah dijadikan alasan, untuk menolak sistem nilai tradisi yang lain? Misalnya anak laki-laki atau perempuan si A dari suku X tidak diperkenankan mempersunting anak laki-laki atau perempuan si B dari suku Y (untuk mudahnya kita sebut “hubungan terlarang”), yang selama ini telah dipraktekkan turun temurun, jika telah masuk pada institusi palae rawwe,maka otomatis “hubungan terlarang” tadi menjadi boleh (sah). Dengan alasan syariat tidak melarang. Celakanya, bila “hubungan terlarang” itu dibolehkan karena kondisi darurat, menabrak dan melanggar aturan agama (baca kecelakaan).
Buat saya, ini namanya mempermainkan syariat demi memenuhi nafsu libido hewani semata. Pandangan ini sangat berpotensi merusak (destruktif). Karena orang akan dengan mudah menabrak tradisi dengan dalih syariat tidak melarang (membolehkan), sambil berjingkrak ria menginjak ketentuan agama pula. Pendapat lain yang perlu juga dicermati secara hati-hati adalah “daripada membiarkan seorang anak manusia hadir tanpa ayah (tidak melalui institusi perkawinan resmi), karena terlalu kaku menjaga norma tradisi itu tadi.