Oleh : eN-Te
Spekulasi itu kembali muncul, seiring dengan seorang teman, sahabat, rekan, partner kerja, dan saudara kami dipanggil “pulang”. Belum genap satu bulan berlalu, ketika dua sahabat, rekan, partner kerja, dan saudara kami, juga telah kembali “pulang” ke kampung abadi.
Duka itu belum sirna dan pupus dari pelataran kampus Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sulawesi Selatan (LPMP Sulsel), ketika kami ditinggal pergi alm. Agus Santoso (Mas Bagus), dan Edy Poerwanto (Pak Edy) (baca di sini). Kini, pada hari kemarin, Kamis (10/03/2016), teman, sahabat, rekan, partner kerja, dan saudara kami yang lain, Abdul Fattah, menyusul dua rekannya yang lebih dahulu “berangkat”, kembali menemui ajalnya.
[caption caption="Karangan Bunga Ucapan Duka"][/caption]
Spekulasi itu terdengar sangat menyesatkan. Duka itu tidak ada kaitannya dengan “sesuatu” yang lain, tapi karena memang sudah menjadi iradah-Nya. Agama mengajarkan bahwa setiap makhluk yang bernyawa, pasti akan mati. Rejeki, jodoh, dan ajal, adalah tiga hal penting yang menjadi hak prerogatif Allah SWT. Ketiga hal itu pula dalam perspektif keagamaan sudah menjadi sesuatu yang given, sudah ada sejak dari “lahirnya”. Ketiganya sudah tercatat di lauhulmahfuzd. Kita, sebagai makhluk ciptaannya hanya diberi kesempatan untuk berikhtiar dengan sungguh-sungguh. Siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh sambil berharap keridhaan-Nya, dialah yang mempunyai peluang paling besar untuk mendapatkannya, rejeki, jodoh, dan “menghindar” dari ajal. Manjaddah wa jadah.
***
Teman, sahabat, rekan, partner kerja, dan saudara kami, Abdul Fattah, yang menghembuskan nafas terkahir di R. S. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar kemarin, di kalangan warga dan keluarga besar LPMP Sulsel dikenal sebagai orang yang sangat bersahaja. Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang “unik”. Unik dalam pengertian memiliki sifat-sifat yang membuat rekan-rekannya yang lain, kami semua, warga LPMP Sulsel, merasa sangat berkesan.
Pada beberapa orang tertentu, beliau dijuluki seseorang yang memiliki sedikit “keunikan”. Tapi pandangan sinis itu, ia tanggapi dengan pernyataan yang tidak kalah “menggetarkan”. Mengutip pernyataan seorang teman, bahwa almarhum pernah berujar, “saya itu pura-pura gila, (tapi) yang lain pura-pura waras” (sumber: WA Group).
Beliau, meski dalam pandangan beberapa orang dianggap sebagai seseorang yang “unik”, tapi di sisi lain ia memiliki sisi humanis(me) yang membekas. Beliau tidak segan-segan berbagi rejeki dengan para tukang becak atau tukang bentor yang mangkal di depan kantor. Meski hanya berupa sebatang rokok. Sehingga ketika mereka mendengar almarhum wafat, mereka juga merasa sangat kehilangan.
“Keterbatasan” yang dimiliki beliau tidaklah membuatnya kesulitan menunjukkan kelebihannya. Ketika kami, teman-temannya yang memiliki kendaraan (roda dua maupun roda empat), merasa kesulitan untuk “menyelesaikan” masalah pembayaran pajak dan perpanjangan STNK, beliau dengan sigap hadir menjembatani. Begitu pula dengan masalah yang berkaitan dengan kendaraan dinas kantor. Relasi dan konektivitasnya di kalangan SAMSAT sangat membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi kami, teman-temannya, maupun urusan (kendaraan dinas) kantor. Tercatat ada beberapa kendaraan (mobil) dinas kantor, yang mampu beliau “ubah” nomor polisinya. Sebuah dedikasi almarhum yang seharusnya tidak boleh dilupakan dalam sejarah perjalanan LPMP Sulsel.