Oleh: eN-Te
Prolog
Catatan awal :Tulisan ini merupakan tulisan lama, yang pernah dipublish di akun facebook milik penulis. Awalnya tulisan ini merupakan respons penulis terhadap sebuah status facebook salah seorang anak Lamakera. Meski demikian, untuk kepentingan mendokumentasikan tulisan, serta keinginan untuk memperkenalkan budaya/tradisi dalam sistem adat dan sistem sosial Lamakera, maka penulis merasa perlu untuk mempublish ulang di “mimbar” kompasiana ini. Lagi pula secara umum, budaya/tradisi ‘appu tanali’ ini juga berlaku secara umum di kalangan warga Lamaholot, Kabupaten Flores Timur. Siapa tahu ada warga Lamaholot lainnya berkenan membaca dan memberikan ulasan, saran, maupun kritikan. Terima kasih admin telah berkenan menyediakan “lapak” untuk tulisan ini di kompasiana.
______________
Sampai hari ini, masyarakat Lamakera, (dan juga wilayah sekitarnya, termasuk yang berdomisili di Kota Kupang), masih menjalankan praktek ‘appu tanali’ (realisasinya berupa uma lamak), dalam konstruksi adat Lamakera. Uma lamak merupakan derivasi (turunan) atau media, sarana dari konsep ‘appu tanali’.
Konsep ‘appu tanali’ dalam konstruksi adat dan sistem sosial yang sedang dijalankan di Lamakera, pada hari-hari ini mendapat sorotan, kritisi, bahkan “digugat” oleh generasi muda Lamakera. Generasi muda yang mewakili jamannya yang mengklaim telah mengalami pencerahan dan transformasi, baik melalui proses pendidikan maupun proses adaptasi, akulturasi, dan asimilasi melalui interaksi dengan sistem sosial lokal, merasa bahwa konsep appu tanali, telah kehilangan relevansi kontekstual.
Tulisan ini ingin meninjau konsep ‘appu tanali’ dari beberapa perspektif untuk mendapat gambaran lebih komprehensif dan holistik, sebagai ikhtiar awal menyusun sebuah formulasi konseptual yang tidak bersifat ambigu, sehingga kita tidak terjebak pada pemahaman dangkal sehingga tidak serta merta memberikan penilaian yang bersifat ironis sarkartis.
Hakekat Appu Tanali
Mengawali diskusi ini, saya ingin menegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan konsep ‘appu tanali’ dalam konstruksi adat dan sistem sosial yang sedang dijalankan di Lamakera. Hemat saya, makna fundamental dari terminologi ‘appu tanali’, adalah kebersamaan. Secara etimologis, dan sesuai dengan namanya, ‘appu’ berarti mengumpulkan, menyatukan jadi satu (dari kata appu ta’a to’u), sedangkan ‘tanali’, yang menurut terminologi, mengandung makna memberi bantuan, pertolongan, dengan menyisihkan sebagian dari sumber daya yang dimiliki, sebagai bagian dari ikatan keluarga, baik atas dasar ikatan suku maupun ikatan kekerabatan karena pertalian darah (melalui pernikahan/perkawinan). Implementasi dari ‘appu tanali’ dipraktekkan dengan memberi ‘uma lamak’. Pada kedua terminologi ‘appu tanali’dan ‘uma lamak’ merujuk pada kesadaran moral dan kolektif untuk memberikan bantuan, pertolongan, secara sukarela, tanpa paksaan, sebagai bagian yang tak terpisahkan sebagai anggota komunitas karena ikatan kekerabatan dan pertalian darah.
[caption id="attachment_368453" align="aligncenter" width="300" caption="Tradisi mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita pada hari "][/caption]
Jadi, makna filosofis ‘appu tanali’ adalah keinginan untuk tetap menjaga kebersamaan dengan menunaikan “kewajiban” secara sukarela tanpa paksaan untuk memberikan “sesuatu” (uma lamak) dengan tujuan untuk saling membantu, tolong menolong atas dasar kesadaran moral dan kolektif sebagai bagian dari keluarga besar yang tak terpisahkan, yang hidup bersama dalam komunitas sosial, bernama Lamakera. Hakekat appu tanaliadalah saling tolong menolong, memberi secara sukarela dalam ikatan persaudaraan dan kekeluargaan untuk memupuk dan mempererat rasa kebersamaan. Karena itu, dalam ‘appu tanali’ juga mengandung makna kesukarelaan dan keikhlasan berkorban, tanpa memandang bahwa apa yang dikeluarkan itu dapat mengurangi sumber daya untuk mendukung kebutuhan perseorangan dan personal. Bagi mereka, kebersamaan dalam kolektivitas, jauh lebih indah (penting) daripada perasaan terbebani.
Perspektif Humaniora dan Sosial
Terminologi ‘appu tanali’ mengajarkan kepada kita bagaimana membangun kesadaran koletif untuk saling tolong menolong dan mau berkorban demi tujuan bersama membina kesetiakawanan sosial dan menjalin ukhuwah dalam nuansa kebersamaan dan kegotongroyongan yang dilandasi ikatan emosional yang kental. Dalam konteks ini, appu tanali dan uma lamak hanya sebagai instrumen, sarana, alat, untuk menghubungkan “rasa” antaranggota komunitas, menciptakan ikatan kebersamaan dengan secara bergotong royong saling memberi, membantu meringankan beban sesama tanpa ada perasaan terbebani. Bahwa sekarang seakan-akan ada “paksaan” untuk memberikan ‘tanali’ berupa ‘uma lamak’, itu bukan berarti secara konseptual kedua konsep itu salah, tapi harus dilihat dari perspektif implementatif praksis, bahwa apa yang dilakukan itu telah mengalami pergeseran karena distorasi pemahaman dan penafsiran. Lebih dari itu, harus dipahami sebagai efek, bukan “kerugian”.
[caption id="attachment_368468" align="aligncenter" width="300" caption="Tradisi semarak mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai pria setelah akad nikah dan resepsi, yang menggambarkan suasana kebersamaan dalam ikatan kekerabatan yang sangat kental (dokumen pribadi)"]
Jadi, konsep ‘appu tanali’ dalam konteks adat dan sistem sosial yang sedang berlaku di Lamakera (dan juga wilayah sekitarnya, khususnya adat Lamaholot) dalam perspektif humaniora dan sosial tidak mengandung sedikitpun makna “paksaan”, bahwa ia merupakan “model penjajahan”. Jika kemudian muncul kesan dan menganggap bahwa konsep ‘appu tanali’ merupakan “model penjajahan”, maka sebenarnya itu merupakan bentuk reduksi makna yang paling hakiki. Buat saya, konsep ‘appu tanali’ mengajarkan untuk senantiasa membangun kepekaan sosial dan rasa empati, serta kepedulian sosial (social corcern) karena kesadaran altruisme yang kental untuk meningkatkan persaudaraan (ukhuwah) dan ikatan kebersamaan.
[caption id="attachment_368472" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana kemeriahan mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai pria (dokumen pribadi)"]
Perspektif Agama
Konsep ‘appu tanali’ dalam pandangan agama tidak hanya dibolehkan, melainkan lebih dari itu sangat dianjurkan. Agama mengajarkan agar kita senantiasa membiasakan diri untuk berlaku sebagai “tangan di atas”, dan melarang menempatkan diri sebagai “tangan di bawah”. Agama menekankan pentingnya selalu berusaha untuk terus menumbuhkan dan mempertajam sensivitas kalbu dengan bermurah hati dan bermurah tangan untuk memberi dan menolong sesama, dalam konteks apapun.
Agama menganjurkan supaya menafkahkan sebagian dari sumber daya (baca: harta) yang dimiliki untuk kepentingan kemaslahatan bersama (umat). Tidak terkecuali dalam konteks ‘appu tanali’, seperti yang berlaku dalam konstruksi adat/budaya dan sistem sosial yang berlaku di Lamakera. Agama juga mengajarkan untuk senantiasa menjaga dan menyambung silaturahmi dan meningkatkan ukhuwah (persaudaraan, kebersamaan, persatuan). Manifestasi dari menyambung silaturahmi dan menjaga ukhuwah adalah antara lain dilakukan dengan membantu kepada sesama. Apalagi pengertian “sesama” itu adalah warga/masyarakat yang hidup bersama dalam suatu komunitas bernama Lamakera. Dan antara satu dengan yang lain dalam komunitas warga/masyarakat Lamakera terdapat hubungan kekerabatan yang saling terkait dan tak terpisahkan, karena itu memiliki hubungan dan ikatan emosional yang kuat antara satu dengan yang lain.
Agama juga mengajarkan bahwa di samping senantiasa untuk terus meningkatkan keshalehan personal (individu), juga mengingatkan untuk tidak mengabaikan keshalehan sosial. Bahkan pada batas tertentu, kualitas personal (individu) sangat ditentukan sejauhmana kita mampu mengimplementasikan nilai-nilai sosial dalam kehidupan personal dan sosial. Kemanfaatan seseorang dapat diukur pada aspek-aspek sosial ketika ia dengan panggilan nurani dan sensivitas kalbu (baca: sosial) memberikan kontribusi nyata bagi kemaslahatan bersama (umat). Pendek kata, agama menekankan pentingnya membangun solidaritas sosial demi menjaga hubungan baik dan persaudaraan. Karena itu, ditinjau dari perspektif agama, konsep ‘appu tanali’ mengandung nilai-nilai luhur guna membentuk jalinan kebersamaan yang sangat indah dan memberi ruang yang sangat elok bagi aktualisasi dari tugas-tugas perkembangan untuk menjaga hablumminannas.
Premature dan Manipulatif
Sesungguhnya, konsep appu tanali tidak mengandung sedikitpun unsur “paksaan”, “penjajahan” dalam bentuk baru, dan saya yakin, setiap anggota komunitas (warga/masyarakat) Lamakera dan juga warga Lamaholot yang mempraktekkan konsep yang sama, tidak merasa dibebani atau dijajah. Buat mereka, kewajiban memberi appu tanali (berupa uma lamak) merupakan perwujudan kesetiakawanan (solidaritas) sosial dan implementasi sifat altruisme.
Apakah ‘appu tanali’, pada hari-hari ini terasa “membebani” karena nilai dan besarannya sudah ditentukan sehingga membuat seseorang merasa “terbebani” harus memenuhi tanggung jawab sosialnya, itu lebih disebabkan karena distorsi makna secara hakiki dari ‘appu tanali’. Jikapun itu terjadi, saya yakin hal itu hanya bersifat insidental dan kondisional semata. Buat saya, penilaian dan anggapan bahwa ‘appu tanali’ dalam konstruksi adat dan sistem sosial masyarakat Lamakera, membuat seseorang merasa mengalami under presure, sehingga merasa “terjajah” merupakan penilaian premature, mengada-ada, dan merupakan persepsi manipulatif. Karena itu, wajar diajukan pertanyaan, di mana letak makna “menjajah” dalam konsep ‘appu tanali’ dalam konstruksi adat dan sistem sosial masyarakat Lamakera?
Kesan bahwa konsep appu tanali merupakan konstruksi sosial beraroma “imperialis-kolonialis” timbul karena keinginan kita untuk mau “menyamakan” dengan membandingkan sistem sosial lain (yang mungkin menurut kita lebih “ramah”), karena kita telah mengalami transformasi baik melalui proses pendidikan maupun melalui interaksi dan proses adaptasi, akulturasi, dan asimiliasi dengan sistem sosial lokal. Harus dipahami bahwa setiap sistem sosial memiliki sistem nilai sendiri-sendiri, dan tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu, mencoba mereduksi makna ‘appu tanali’ hanya sebatas “beban personal” dan bukan “kewajiban sosial”, hanya akan melahirkan kesimpulan yang bias, personal, dan tidak relevan. Karena itu, konsep ‘appu tanali’ sesungguhnya memiliki nilai filosofis yang tetap relevan sampai hari ini, dan tidak akan pernah out of date. Hanya saja, perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan melakukan modifikasi sehingga lebih adaptif, responsif, dan konstruktif bagi kelestarian sebuah peradaban.
Konsep Nana dan Wae
Untuk melengkapi diskusi kita tentang appu tanali, kita perlu mencoba melihat sepintas tentang pergeseran makna dari sapaan “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta”. Karena membicarakan “appu tanali” tanpa menyinggung konsep “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta”, adalah tidak lengkap. Mengingat konsep “appu tanali” lahir dari relasi hubungan kekerabatan dalam konstruksi adat Lamakera (juga wilayah sekitarnya, khususnya di kalangan adat Lamaholot).
Terminologi “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta”, tidak sebagaimana makna terjemahan “Paman dan Bibi”, “Ipar dan Tante”. Makna “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta”, melebihi makna “Paman dan Bibi”, “Ipar dan Tante”. Bahkan kalau mau jujur, sebenarnya terjemahan ““Nana dan Wae”, “Opu dan Atta” menjadi “Paman dan Bibi”, “Ipar dan Tante” adalah terjemahan yang kurang tepat, jika tidak mau dikatakan “dipaksakan”. Makna “Paman dan Bibi”, “Ipar dan Tante” menurut Bahasa Indonesia mengandung arti saudara ayah atau ibu. Sementara makna “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta” dalam konstruksi adat dan sistem sosial Lamakera dan juga wilayah sekitarnya melampui makna “Paman dan Bibi”, “Ipar dan Tante” dalam pengertian Bahasa Indonesia. Dalam “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta” terselip perasaan respek, hormat, dan pengkhidmatan. Pengertian ini tidak berarti memberi justifikasi bagi terbentuknya persepsi “feodalisme” model baru.
Karena itu, terus terang secara pribadi saya merasa kurang pas (sreg) apabila kita menyamaratakan sapaan “Paman dan Bibi”, “Ipar dan Tante” untuk mengganti sapaan “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta”. Jika sapaan “Paman dan Bibi”, “Ipar dan Tante” untuk mengganti sapaan “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta” digunakan oleh mereka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pertalian darah karena pernikahan atau perkawinan, maka itu masih bisa dipahami. Misalnya, si A (pria) menikah dengan si B (perempuan) dan si B mempunyai saudara laki-laki bernama si C, kemudian si C menikah dengan seorang wanita bernama si D, maka anak-anak dari si A dan Si B, harus memanggil si C dan si D, dengan sebutan “Nana dan Wae”, tanpa harus latah mengganti dengan sapaan “Paman dan Bibi”. Begitu pula dengan anak-anak si C dan si D, harus memanggil si A dan si B dengan sebutan “Opu dan Atta”. Dengan demikian harus dipahami Lamakera dan sekitarnya mempunyai keunikan dalam relasi sosial dan interaksi antarsesama dalam konstruksi adat/budaya dan sistem sosial yang berlaku di Lamakera dan sekitarnya.
Karena itu, hemat saya, sebelum pergeseran makna “Nana dan Wae”, “Opu dan Atta” mengalami distorsi lebih jauh dan kehilangan kedalaman “rasa” (rasa respek, rasa hormat, rasa khidmat, rasa untuk siap “mengabdi”) maka kita perlu menggali kembali kearifan local (local wisdom) sebagaimana ajaran-ajaran dan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan orangtua-orangtua kita, tanpa kita harus kehilangan daya kritis-obyektif.
Epilog: Sebuah Saran
Tulisan ini tidak berpretensi untuk menunjukkan bahwa deskripsi singkat ini merupakan sebuah aksioma kebenaran yang patut dipedomani. Tetapi, setidaknya hal ini menjadi pengantar bagi generasi muda, sebagai “anak Lewotanah” Lamakera, yang sudah mengalami “pencerahan” intektual (di mana saja berdomisili saat ini) sebagai penambah wawasan dan membuka ruang diskusi secara kritis-rasional.
Pengetahuan saya tentang adat/budaya dan sistem sosial dan histori Lamakera, sangat terbatas (baca: sangat sedikit). Sebab, lebih dari tigaperempat usia yang saya telah jalani, saya habiskan di luar Lamakera. Sejak usia 12 tahun, saya sudah meninggalkan Lamakera. Saya hanya menikmati sejuknya dan panas teriknya alam Lamakera hanya dari usia nol tahun s.d. 12 tahun. Jadi, saya hanya merasakan nuansa dan berinteraksi langsung dengan adat/budaya dan sistem sosial Lamakera, bila dihitung sejak usia akil balig 10 tahun, maka praktis hanya dua tahun saya berinteraksi dan mengenal adat/budaya dan sistem sosial yang berlaku di Lamakera. Meski relatif sangat singkat, tapi saya sangat merasakan denyut nadi nilai-nilai luhur ajaran nenek moyang dan orangtua-orangtua kita yang dirumuskan dalam sistem sosial dan adat/budaya Lamakera, dan sekitarnya. Kita harus bangga, bahwa secara intelektual, nenek moyang dan orangtua-orangtua kita, mempunyai pemikiran yang visioner, sehingga mampu membaca perubahan dan perkembangan jaman, sehingga mampu melahirkan konsep ‘appu tanali’, yang bila ditinjau dari berbagai perspektif tetap relevan dan tetap up to date, sampai hari ini.
Setiap generasi sebagai “anak Lewotanah” mempunyai hak sekaligus kewajiban untuk membangun dan memajukan Lamakera, termasuk memberikan kontribusi dengan melakukan kritisi secara kritis-obyektif-rasional terhadap sistem sosial dan konstruksi adat/budaya Lamakera yang sampai hari ini masih dipraktekkan. Meskipun demikian, perlu saya ingatkan, bahwa kritik itu sah dan dibolehkan, tapi harus dengan cara-cara yang elegan dan santun. Tidak karena arogansi intelektual, sehingga kita dengan mudah dan kehilangan kearifan melakukan ekspansi intelektual dalam ranah kehidupan komunitas tradisional secara ofensif, tanpa mempertimbangkan kesantunan publik. Apalagi kritik itu dibumbui dengan istilah-istilah asing, yang kadang cara penulisannya saja salah. Kesalahan penulisan istilah asing, apalagi Bahasa Inggris, bisa menimbulkan makna yang sangat berbeda. Apalagi penggunaan istilah asing, hanya untuk sekedar menunjukkan bahwa kita memang “intelek”. Intelek tidaknya seseorang bukan diukur dari penggunaan istilah dan perbendaharaan/kosa kata asing, tapi lebih pada kearifan dan kesantunan perilaku dan sikap, rasa respek, dan apresiatif. Bukan berdebat kusir ala “preman”, dengan menilai orang lain yang mengemukakan pendapat dengan mengatakan hanya menggunakan “otot” bukan otak. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, di up date: 12 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H