Oleh : eN-Te
Rupanya geger Ahok mengutip surah al-Maidah ayat 51 tidak hanya nyaris membuat negeri ini berada di bibir tebing, tapi juga dapat memberikan hikmah. Setiap masalah yang muncul dan berkembang, pasti akan membawa dua dampak sekaligus. Dampak negatif, yang bersifat merusak (destruktif), dan sekaligus menawarkan pula dampak positif yang bersifat membangun (konstruktif). Dalam bahasa agama mungkin kita kenal dengan istilah hikmah (yang dapat dipetik di balik sebuah peristiwa).
Kekhawatiran sebagian elemen bangsa bahwa ‘keisengan’ Ahok menyitir surat al-Maidah 51 sebagai digunakan untuk membohongi, akan membawa dampak sangat serius, yakni akan mencederai dan  mengancam (keberlangsungan) keberagaman. Kebhineka-tunggal-ika-an sebagai nilai perekat persatuan dan kesatuan akan tergerus ke titik nadir bila kita mau bermain-main dengan sesutau yang sangat sensitif. Sentimen publik akan segera tersulut, bila ada yang menyinggung hakekat kepercayaan dan keyakinannya.
Begitu pula dengan kasus pidato Ahok di hadapan warga di Kepulauan Seribu. Lepas dari ada niat tertentu dari pengunggah video pidato yang telah dipotong itu,  suka atau tidak suka, fakta menunjukkan bahwa ada frase dari pidato Ahok itu telah menyentil kesadaran paling dasar dari umat Islam. Jika sebuah komunitas merasa ada yang,  dengan  sengaja atau tidak sengaja, telah menyinggung perasaan terdalam, sesuatu yang sangat sentifif yang menjadi keyakinan mereka, akan pasti menimbulkan reaksi. Apakah reaksi itu bersifat konstruktif atau pun bersifat destruktif.
Peristiwa geger surah al-Maidah 51, yang telah ‘diisengi’ Ahok telah memberikan pelajaran yang berharga bagi semua elemen bangsa, termasuk pula bagi Ahok pribadi. Terus pelajaran apa yang dapat kita petik dari peristiwa kisruh al-Maidah 51 ini? Mari kita coba urai bersama-sama!
Jangan Coba Mengusik Sesuatu yang ‘Tabu’
Sejak masa orde baru, rezim Soeharto telah dengan sangat sukses mengkondisikan rakyat Indonesia bersikap toleran  atas realitas perbedaan (kebhinekaan dan pluralisme). Keberagaman itu merupakan sebuah sumber daya yang harus tetap dijaga untuk menjamin keberlangsungan rezim. Karena itu, siapapun yang berusaha mengusik keberagaman itu dengan hal-hal yang berbau ‘tabu’, sudah pasti akan terlempar.
Pada era di mana rezim Soeharto sebagai penguasa tunggal yang harus didengarkan dan dijalankan segala titahnya, pembicaraan yang berbau sensitif harus dibuang jauh-jauh dari ruang publik. Pembicaraan yang menyangkut sensifitas hakekat kepercayaan dan keyakinan harus ditempatkan pada koridor dan posisinya, secara proporsional dan berimbang. Tidak boleh mengumbar di ruang publik sesuka hati. Karena apabila hal itu dilakukan, resiko menanti, dan siap-siap menanggung akibatnya.
Di zaman Soeharto pula, mulai diperkenalkan frase SARA, yang merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. SARA, adalah frase ‘tabu’ dan ‘mantra’ yang tidak sembarangan diperbincangkan. Apalagi menjadikannya sebagai dagangan politik. Karena hal itu sangat berpotensi merusak kerukunan.
Harus diakui bahwa sampai hari ini, publik Indonesia sangat menghargai dan menempatkan isu SARA pada posisi yang hampir tak terjangkau. SARA merupakan sebuah akronim yang menggambarkan sensifitas yang (bisa) menghancurkan. Karena itu, apabila ada yang dengan ‘iseng’ ingin mencoba menjangkau itu, apalagi berusaha mengambil kemudian mencampakkannya, maka sudah pasti akan ‘terbuang’.
Begitu pula dengan memanfaatkan isu agama untuk kepentingan politik sesaat. Salah-salah hal itu akan berbalik menyerang. Maka kondisi sekarang di ibukota yang membuat atmosfir politik menjelang Pilkada DKI 2017 sedikit panas, memberikan sedikit gambaran, bahwa setiap kontestan, baik calon maupun parpol pengusung, harus  cerdas memilih-milih ‘jualan’ kampanye.