Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memberi Pelajaran kepada Tony Abbot

25 Februari 2015   16:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:32 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424831329569354882

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_370442" align="aligncenter" width="393" caption="Koin untuk PM Australia, Tonny Abbot (sumber : okezone.com)"][/caption]

Diksursus tentang eksekusi hukuman mati bagi narapidana kasus narkoba hari-hari ini masih tetap saja hangat.  Polemik pro kontra terhadap pelaksanaan eksekusi hukuman mati menyeruak ke permukaan. Polemik  pro kontra bukan saja baru kali ini terjadi ketika eksekusi tahap kedua hendak dilaksanakan. Tetapi polemik pro kontra itu, sudah muncul sejak Presiden Jokowi dengan tegas menolak semua permohonan grasi narapidana kasus narkoba. Polemik semakin ramai menghiasi jagad perpolitikan Indonesia, sesaat setelah diputuskan pelaksanaan eksekusi hukuman mati terhadap narapidana kasus narkoba tahap pertama.

Di tengah-tengah keriuhan  di dalam negeri menyangkut polemik pro kontra eksekusi hukuman mati terhadap narapidana kasus narkoba, tiba-tiba Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbot nimbrung ikut pula meramaikan. Bagai disambar geledek, publik Indonesia terhenyak ketika PM Tony Abbot tanpa merasa malu sedikitpun mengungkit-ungkit bantuan yang pernah diberikan Ausie dalam tsunami Aceh, 2004 lalu. Rupanya Tony Abbot berharap dengan “pernyataan bodoh” seperti itu beliau dapat mempengaruhi Presiden Jokowi untuk menganulir eksekusi hukuman mati bagi kedua warganya. Secara implisit, Tony Abbot berharap dapat melakukan “barter hukum” terhadap dua narapidana warga Ausie, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dengan menyebutkan nilai nominal bantuan yang pernah diberikan dalam bencana  tsunami Aceh. Targetnya jelas, supaya Indonesia merasa “berhutang budi” sehingga mau melakukan “barter hukum” dengan membatalkan hukuman mati terhadap kedua warganya.

Rupanya Tony Abbot lupa bahwa yang ia hadapi saat ini bukan lagi rezim lama, di bawah komando Presiden SBY, melainkan rezim baru yang memiliki semangat tanpa gentar terhadap gertakan. Apalagi gertakan tersebut sambil membusung dada dengan menyebut-nyebut jasa yang pernah diberikan dalam sebuah peristiwa “tragedi” kemanusiaan berupa bencana alam tsunami.

Tony Abbot lupa bahwa dalam tradisi Aceh yang sangat kental dengan nilai-nilai religius ke-Islam-an, merupakan hal yang tabu apabila mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah diberikan kepada seseorang, apalagi kebaikan itu dilakukan dalam sebuah peristiwa bencana alam. Padahal ketika bantuan itu digelontorkan, Tony Abbot belum lagi memegang tampuk kekuasaan sebagai PM. Sehingga terkesan naif dan mengada-ada ketika saat ini setelah ada warganya terlibat kasus narkoba dan telah dijatuhi vonis hukuman mati sesuai dengan derajat kejahatan yang dilakukan, Tony Abbot malah membawa-bawa “jualan” bantuan kemanusiaan.  Diplomasi “pedagang pasar” dengan menegosiasikan bantuan kemanusiaan. Hal yang sangat tidak wajar dalam diplomasi hubungan internasional.

Karena Tony Abbot telah menyinggung hal yang sangat sensitif dalam tradisi Aceh, melakukan sesuatu dengan mengharapkan pamrih, maka segera setelah itu muncul gerakan “koin untuk Australia”. Tujuan dari gerakan ini adalah mendorong seluruh warga negeri, khususnya rakyat Aceh, secara beramai-ramai bergotong royong mengumpulkan sesen dua sen hingga mencapai nilai nominal sebagaimana besaran nilai nominal bantuan dari Australia terhadap warga Aceh yang mengalami musibah tsunami waktu itu. Setelah tercapai nominal sesuai atau mendekati nilai nominal satu milyar dollar sebagaimana disebutkan, kemudian diserahkan kepada Tony Abbot sebagai perlambang bahwa rakyat Indonesia mampu mengembalikan “hutangnya”. Rakyat Indonesia, khususnya Aceh, bukan orang yang “lupa kacang akan kulitnya”. Rakyat Indonesia bukan orang yang tidak tahu diri, tapi mampu menghargai setiap wujud kebaikan, sekecil apapun itu sesuai standar kepatutan dan nilai-nilai kearifan bangsa. Tetapi, jika kebaikan yang telah “diinvestasikan” itu di kemudian hari diungkit-sebutkan, maka hal itu secara tidak langsung sudah “menyerang” harga diri dan martabat bangsa.

Maka wajar bila kemudian publik Indonesia, khususnya warga Aceh menjadi marah karena merasa terhina oleh pernyataan Tony Abbot. Dalam sejarah panjang kemerdekaan Indonesia, terlalu banyak disebutkan pejuang Aceh yang berkorban demi kelangsungan negeri ini. Hingga pada suatu waktu, rakyat Aceh harus rela secara urungan mengumpulkan dana demi membantu Pemerintah Indonesia yang baru lahir untuk membeli pesawat terbang. Toh, di belakang hari, meski rakyat Aceh merasa “dikhianati” oleh Pemerintah Indonesia (rezim Orde Baru), mereka tetap berikrar janji untuk setia bernaung di bawah panji-panji nusantara Indonesia. Jika sejarah panjang telah terbentang memberi pelajaran pahit getir dalam perjuangan kepada rakyat Aceh, apatahlagi hanya mengembalikan “hutang” yang tidak pernah diperjanjikan.

Karena itu kita boleh berharap demi harga diri dan martabat bangsa, Pemerintahan Jokowi-JK tetap istiqamah dengan keputusannya untuk tetap melaksanakan “niat baik” dengan mengeksekusi mati narapidana kasus narkoba demi menyelamatkan generasi anak bangsa. Pemerintah Jokowi-JK tidak boleh berjalan mundur, meski setapak, hanya karena intervensi pihak luar, yang tidak berkepentingan langsung dengan penyelamatan anak negeri. Apalagi harus merasa sungkan sehingga membuat kendur semangat hanya karena “gelitik” negeri seberang yang menyebut-nyebut “piutang” yang pernah diberikan.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca,...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 25  Februari  2015, Pkl. 10.14 Wita

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun