Oleh : eN-Te
Pertarungan menjelang hari ‘H’ pemilihan Pilgub DKI 2017 semakin seru. Segala strategi dan taktik jitu dipasang dan dicobatandingkan. Termasuk pula berbagai ‘tipu muslihat’ juga dipertontonkan. Begitu pula dengan sikap politik yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan trend pergerakan dan estimasi ke mana bandul suara pemilih akan bergerak.
Tokoh-tokoh politik di balik layar juga turut mengambil peran ingin menentukan. Semua sumber daya yang diperlukan dan memungkinkan, akan dimobilisasi demi kepentingn memenangkan pertarungan. Meski semua cara itu tidak selamanya berkesuaian dengan adab dan etika (ber)politik.
Ilustrasi di atas memberikan setting untuk membaca kondisi pertarungan memperbutkan DKI 1 saat ini. Semua tokoh politik di balik layar tidak lagi malu-malu kucing memperlihatkan hasrat  untuk dapat terlibat memenangkan pertarungan itu. Maka berbagai cara dan strategi dicobabentangkan untuk mengukur magnitude keterpengaruhan terhadap gerakan bandul suara pemilih.
***
Pasca Pilkada DKI 2012 dan Pilpres 2014 yang dimenangkan pasangan calon (paslon) Jokowi-JK, atmosfir politik ibukota, sebagai miniature Indonesia selalu memperlihatkan geliat yang nyaris membuat negeri ini centang perenang. Gosip, isu, rumor politik yang dibumbui berita hoax dan fitnah menjadi menu harian yang dicobakonsumsikan ke public. Publik dalam ketaksadaran tak mampu lagi mencerna ‘menu’ itu secara cermat seksama. Sehingga tanpa sadar, public kemudian terjepak pada sebuah kondisi pancaroba yang tak menentu. Lebih parah lagi, karena telah terjebak, sehingga kemudian tenggelam dalam arus pusaran yang nyaris tidak dapat dihindarinya.
Tampuk pimpinan ibukota yang ditinggalkan Jokowi kemudian beralihtangan. Ahok yang berpasangan dengan Jokowi ketika kontestasi Pilkada DKI 2012, naik pangkat dan dilantik menggantikan Jokowi sebagai nahkoda baru. Dan hal itu sesuai dengan mekanisme konstitusional yang selama ini berlaku dan dipraktekkan dalam system ketatanegaraan kita.
Mekanisme konstitusional ini sudah menjadi sebuah keharusan yang lazim dipraktekkan dalam system ketatanegaraan yang berlaku di negeri ini. Tetapi ‘durian runtuh’ yang diperoleh Ahok tidak serta merta membuatnya duduk nyaman di singgsana baru.
Berbagai kelompok entitas yang sejak awal bersikap resisten dan phobia terhadap kelompok minoritas, memasang kuda-kuda menolak Ahok sebagai Gubernur menggantikan Jokowi. Tak segan dan tak malu pula mereka harus melantik seorang ‘gubernur lain’ sebagai tandingan. Meski figure dan profil gubernur tandingan itu, secara lahiriah terkesan sangat lucu, lugu dan culun.
***
Kehadiran Ahok sebagai komandan  di ibukota telah membuka perspektif baru daam langgam mengelola birokrasi yang terbuka dan melayani. Di samping itu pula memberikan warna baru bagi praktek-praktek kepemerintahan yang sehat, jauh dari praktek kongkalikong. Masyarakat pun merasa manfaatnya dan memberikan tesmoni atas keberhasilan itu.