Calon Gubernur Petahana, Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok kembali membuktikan bahwa dia tidak mementingkan pencitraan. Soal citra baik dan atau jaga imej atau jaim (lihat di sini), bukan merupakan sebuah hal yang harus menjadi faktor determinan membatasi gerak kebijakannya membangun dan menata ibukota.
Atmosfir politik jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, termasuk DKI Jakarta tidak harus membuat Ahok terpasung kreativitasnya. Kreativitas mana untuk terus menata ibukota untuk tampil lebih elok mempesona.
***
Pembangunan itu membutuhkan ongkos. Dan ongkos, baik ekonomi, politik, maupun sosial sudah menjadi konsekuensi logis untuk sebuah tujuan yang lebih baik dan berdimensi jangka panjang. Bahwa karena itu, sehingga harus ada yang menjadi korban, adalah sebuah realitas yang tak terbantah. Tapi, jika hal itu harus dilakukan sebagai sebuah konsekuensi logis maka itu juga menjadi sesuatu yang niscaya.
Begitu pula dalam memahami kebijakan tentang penataan sebuah wilayah pemukiman warga. Jika menginginkan sebuah wilayah dapat berkembang dengan baik, ramah, dan melayani semua, maka harus ada upaya terencana dan berkelanjutan. Termasuk pula kebijakan penataan lingkungan yang dilakukan dengan pendekatan relokasi (baca: lebih familiar dikenal dengan istilah menggusur/penggusuran). Tentu saja dalam proses relokasi itu juga pasti menelan korban, maka harus dipahami sebagai konsekuensi dari ongkos itu.
***
Dengan logika sederhana seperti itu, maka mestinya setiap kebijakan relokasi tidak harus selalu mendapat resistensi. Lagi pula kebijakan relokasi suatu wilayah atau pemukiman kumuh sudah melalui kajian matang. Misal, wilayah yang akan direlokasi itu merupakan tanah negara yang ditempati warga secara melawan hukum (ilegal), sehingga harus dikembalikan sesuai peruntukannya (lihat di sini). Â
Membiarkan warga tetap menempati pemukiman ilegal, dan juga kumuh tersebut akan berpotensi terus menerus membiarkan warga pemukiman sulit terentaskan dari kondisi kemiskinan. Sebab secara rerata sebagian besar warga pemukiman kumuh itu merupakan kelompok penduduk yang relatif berada pada dan di bawah garis kemiskinan. Ditambah lagi, pemukiman-pemukinan kumuh tersebut sangat berpotensi menimbulkan kerawanan yang berdampak pada kepentingan publik (umum), termasuk pula banjir (lihat di sini). Â
***
Karena itu menjadi tanggung tanggung jawab Pemerintah sebagai pemegang amanah untuk mensejahterakan mereka (rakyat). Jika membiarkan warga terus menerus berkubang dalam kemiskinan merupakan pengkhianatan terhadap amanah yang  telah diberikan. Dan hal tersebut akan menempatkan Pemerintah yang dipercaya untuk membenahi, menata, dan membangun dalam rangka mensejahterakan rakyat berada pada posisi dilematis.
Di satu sisi Pemerintah akan dicap sebagai pengkhianat dan tidak becus mengurus warga. Sementara pada kutub lainnya, jika tidak menjalankan usaha untuk mensejahterakan rakyat juga mendapat penilaian yang tidak jauh berbeda, sebagai tidak amanah. Kedua opsi itu, apapun pilihannya, dua-duanya memberikan implikasi negatif. Tinggal seorang pemimpin harus bijak dan berani mengambil resiko tidak populer untuk sebuah ikhtiar mensejahterakan rakyat. Â Â