Oleh : eN-Te
Hari ini, Selasa (4/7/17) Penyidik Bareskrim Polri menjadwalkan akan memeriksa bos MNC Gruop, Hary Tanoesoedibyo (HT) sebagai tersangka (1). Sayangnya, belum apa-apa, salah seorang pengacara HT, Adi Dharma Wicaksono, meminta agar jadwal pemeriksaan HT ditunda menjadi tanggal 11 Juli 2017 (2). Â
HT harus berurusan dengan penegak hukum karena kasus sms yang bernada 'ancaman' yang dikirimkan kepada Yulianto, Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kejaksaan Agung RI. HT merasa perlu mengirim sms bernada 'ancaman' itu kepada Yulianto, karena menganggap apa yang telah dan sedang dilakukan penyidik Kejaksaan Agung sangat menganggu bahkan berprotensi merusak citra dirinya yang sedang dipoles sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan ambisi menjadi pemimpin negeri.
HT berpendapat, jika Yulianto tidak diingatkan, bahkan tidak diancam untuk menghentikan apa yang sedang dijalankan jaksa penyidik dalam rangka tugas profesinya, maka asa yang sudah lama terpendam hanya akan tinggal menjadi kenangan semata. Hanya akan membubung langit. Tetap akan berupa asa, tanpa bisa berubah menjadi realita. Padahal ambisi itu sudah meruyak nyaris menyembul ubun-ubunnya.
Harus diakui bahwa HT memiliki 'kekuatan' yang luar biasa. Tidak hanya kekuatan finansial yang tak terbatas, tapi juga memiliki 'kekuatan' lain yang mampu dimanfaatkan untuk mengamankan kepentingan politik dan bisnisnya.
Lihat saja, saban hari HT wara-wiri bersama istrinya memanfaatkan saluran media TV miliknya (RCTI, iNEWS, Global TV, dan MNCTV) untuk berkampanye ria. Padahal kita tahu masa kampanye belum juga tiba.
Akibat dari ulah 'nyelenehnya' tersebut, dia dan medianya sudah mendapat sempritan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Karena 'kebablasan' memanfaatkan saluran publik hanya untuk memenuhi hasrat dan ego pribadi memoles citra dirinya, agar dapat diterima publik Indonesia.
Tidak hanya berhenti di situ, HT juga sangat 'piawai' memanfaatkan empat saluran TV-nya untuk membentuk dan memobilisasi opini untuk membela dirinya. Segala kelompok, mulai dari pakar, politisi, advokat, pengamat politik, pengamat hukum, ormas, organisasi profesi, serta rakyat biasa dia kerahkan untuk menggiring opini membenarkan polah tingkahnya. Maka tak heran, running text yang menghiasi empat saluran TV-nya berupa parade opini yang menilai apa yang sedang terjadi pada HT merupakan kriminalisasi dan pendzoliman. Â
Mobilisasi opini untuk mendelegitimasi penetapan statusnya sebagai tersangka begitu masif HT lakukan melalui ke-4 saluran TV-nya. Pada empat saluran TV-nya tersebut, setiap saat, tanpa merasa risih dan bosan, semua seragam dan secara kompak menghiasi berita dan running text dengan kalimat-kalimat dan atau berita-berita dari berbagai kelompok masyarakat yang sudah di-setting untuk menyatakan bahwa kasus yang sedang dihadapi sebagai sebuah tindakan kriminalisasi terhadap dirinya. Bahwa apa yang sedang dilakukan penegak hukum itu adalah sebuah tindakan kesewenang-wenangan. HT sedang didzolimi. Â Â
Semua usaha itu dilakukan untuk mendapat simpati sekaligus untuk membentuk citra dirinya sebagai 'orang baik'. Seseorang yang pantas dan harus diperhitungkan di kancah perpolitikan Indonesia sebagai calon pemimpin negeri. Meski HT mungkin sadar, bahwa segala daya yang telah dan sedang dilakukan untuk menaikkan citra dirinya itu, tidak selamanya berbanding lurus.
HT mesti sadar dan harus tahu, serta tidak boleh melupakan sejarah, dan kemudian berkaca pada pengalaman Ahok. Lepas dari semua 'kelebihan' yang dimilikinya, HT harus menyadari dari awal bahwa dia tidak bisa begitu saja menghapus latar belakang dirinya sebagai 'kelompok minoritas' (baik etnis maupun agama) dari memori warga bangsa ini.