Oleh : eN-Te
Kemarin, Kamis (26/5/16) kembali para elit PDIP dan Partai Gerindra di DKI Jakarta mengadakan “silahturahmi” (sumber). Kedua partai tersebut mencoba kembali memupuk asa setelah sempat “bercerai” gara-gara masalah calon presiden (Capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014. Sebuah pertanda baik.
***
Sejak lebih memilih untuk mencalonkan kadernya masing-masing sebagai Capres pada Pilpres 2014, kedua partai ini kemudian berseberangan jalan. Buntutnya hingga kini Partai Gerindra tetap bertahan di Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi pemerintah, di mana pendukung utamanya adalah PDIP. Meski sudah ditinggal pergi oleh kolega-kolega partai yang lain karena tergiur “kue” pemerintah, Partai Gerindra tetap setia pada komitmen untuk mengawal dan mengontrol Pemerintah dari luar.
Pilihan politik Partai Gerindra ini merupakan sebuah praktek politik yang dapat memberikan pembelajaran bernegara. Selama ini praktek politik seragam atau keseragaman politik telah membawa pengaruh yang tidak cukup positif untuk membangun negeri besar nan elok menjadi sebuah negara yang disegani.
Pernah memang pada suatu ketika, politik seragam atau keseragaman politik itu cukup menciptakan kestabilan politik, ekonomi dan keamanan, yang membuat negeri lain menaruh hormat. Tetapi, terbukti kemudian, kestabilan itu hanya bersifat semu. Di balik itu tersimpan kerapuhan yang hampir membuat negeri beribu pulau ini kolaps berantakan.
***
Politik seragam atau keseragaman politik itu kembali menemukan determinasinya ketika Ahok hadir di pentas politik nasional. Meski Ahok menyadari label minoritas yang disandangnya tidak cukup menghentikan langkah dan keinginannya untuk merajuk asa memperbaiki negeri ini.
Jauh sebelum Ahok hadir di pentas politik nasional, sudah ada orang yang beretnis sama dengan Ahok dan karena itu menyandang label minoritas ganda, seperti Kwik Kian Gie (KKG), tidak cukup memberi warna. Bahkan hampir dapat dikatakan KKG sangat jauh dari isu-isu stigmatis yang mendiskreditkan dirinya atas nama etnis dan keturunan.
***
Ahok yang menyandang label minoritas ganda, bahkan multi, menjadi sebuah entry point bagi partai politik (parpol) berbenah diri. Ketika dengan sigap menyatakan diri keluar dari keanggotaan Partai Gerindra karena perbedaan pandangan dalam masalah UU Pilkada Langsung, praktis menempatkan Ahok pada posisi politik yang sulit, tidak membuatnya risau. Malah “kegilaannya” makin bertambah, ketika dengan serta merta tanpa tedeng aling-aling menyatakan maju berlaga di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 melalui jalur independen (perseorangan).