Sumber Gbr. : www.idbb.ga
Oleh : eN-Te
Beberapa hari terakhir saya tidak terlalu aktif mengikuti perkembangan “atmofsir politik” di kompasiana. Namun, kemarin siang ketika sedang menonton berita di salah satu TV Swasta Nasional di runag tamu Wisma Melati LPMP Provinsi NTT, ada teks berjalan (running text) yang berbunyi kira-kira begini, bahwa pihak istana meminta supaya para pemfitnah Jokowi menghentikan ulahnya. Malah setelah itu saya mencoba searching melalui mba gugel, juga menyebutkan hal yang sama.
Beberapa sumber berita (media) itu menyebutkan bahwa Sekretaris Kabinet (Seskab), Pramono Anung, mendesak agar para pemfitnah itu bertobat. Itu berarti, setelah melakukan “pertobatan”, maka berhentilah pula aksi sebar fitnah itu. Bila “ultimatum” ini tidak diindahkan, maka pihak istana tidak akan tinggal diam tapi akan melakukan langkah-langkah hukum untuk “menertibkan” ulah tak bertanggung jawab itu.
Urgensi Ultimatum
Permintaan pihak istana melalui komentar Seskab, Pramono Anung kemudian melahirkan “reaksi”. A. S. Hikam, pengamat dan ahli politik dan mantan Menteri pada era Gus Dur, menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Seskab itu semakin memperkeruh suasana. Menurut Hikam, komentar Pramono Anung bukan meredam isu berbau fitnah itu, tapi malah membuat rumor itu moncer dan marak. Dalam pandangan Hikam, “rumor politik yang muncul di media sosial akan hilang sendiri dalam tempo cepat, secepat peredarannya. Publik yang mengakses media sosial juga paham dan mampu menyaring mana kabar yang punya validitas dan mana yang cuma hoax”. Hikam menegaskan bahwa pemerintah perlu secara proporsional merespon rumor (tepatnya fitnah) tersebut, tidak perlu berlebihan, karena justru malah membuat ingar bingar”.
Hikam malah balik menyindir Seskab, Pramono Anung. Menurut Hikam, jika ingin terlihat tegas dan gagah, bila memiliki data dan sudah mengetahui oknum penyebar fitnah tersebut, lebih baik sekalian umumkan oknum pemfitnah Jokowi. Jika tidak, tegas Hikam, “walhasil, Istana sejatinya melakukan tindakan sangat bodoh, yaitu menjebak dirinya sendiri”.
Saya sendiri kurang paham dengan logika ahli politik dan mantan Menteri ini. Mungkin dalam pandangan Hikam, persoalan penyebaran berita bohong dan fitnah adalah hal yang biasa dalam dunia politik. Ranah politik, apalagi politik praktis, sejatinya adalah medan uji keterampilan dan kemahiran memainkan isu, rumor, dan intrik. Siapa yang mampu mengolah, apalagi menggoreng sampai matang isu berbau fitnah itu, maka dialah yang akan mengendalikan “perasaan” public. Ketika “perasaan” public sudah dapat dikuasai, maka tinggal memainkan bandul itu, maka perasaan public akan dengan mudah diarahkan ke kiri dan ke kanan sesuai dengan keinginan dan selera pemegang bandul.
Berdasarkan premis tersebut maka apapun bentuk fitnah sepanjang hal itu tidak dapat mempengaruhi (mensugesti) dan bahkan menggangu perasaan public, maka bagi Hikam, hal itu tidak perlu terlalu ditanggapi secara serius. Meski produksi berita bohong dan fitnah itu sudah sedemikian massif, sehingga berdampak pada kenyamanan public. Biarkan saja aktor intelektual, baik dari kelompok spesialis maupun kelompok sakit hati sesaat, melakukan provokasi, propaganda dan mungkin agitasi, sepanjang produksi fitnah itu tidak cukup untuk mempengaruhi perasaan public. Serahkan saja kepada public untuk melakukan filterisasi dan memberi penilaian. Apakah informasi yang diperoleh pantas ia terima dan telan bulat-bulat meski resikonya dapat membuat keselek, atau malah sebaliknya bersikap selektif (tabayyun) memilah dan memilih, mana berita dan infomasi yang pantas dan tidak pantas dikonsumsi.