Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jejak Hakim Sarpin Rizaldi Kembali Terulang dalam Praperadilan Kasus IAS

13 Mei 2015   14:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:05 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431502808592329635

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_383414" align="aligncenter" width="560" caption="Suasana euforia pendukung IAS di ruang sidang saat hakim membacakan putusan (sumb. tribunnews.com)"][/caption]

Mungkinkah jagad perpolitikan Indonesia akan kembali gempar setelah hakim tunggal Yuningtyas UpiekKartikawati (selanjutnya penulis singkat YUKA) mengabulkan permohonan praperadilan mantan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin (akrab disebut IAS) atas penetapan status tersangka kasus korupsi dana PDAM oleh KPK? Mungkinkah netizen dan publik Indonesia akan beramai-ramai mencela, mengolok-olok, dan mencaci-maki Hakim YUKA sebagaimana yang dialami Hakim Sarpin Rizaldi ketika mengabulkan permohonan  praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan beberapa waktu yang lalu? Mungkinkah Komisi Yudisial (KY) akan memanggil dan memeriksa Hakim YUKA sehubungan dengan “pelanggaran” etika yang dilakukan karena telah memutuskan bahwa penetapan tersangka kepada Mantan Walikota Makassar, IAS, tidak sah? Mungkinkah publik dan netizen, serta juga KY, masih memiliki sensivitas sehingga masih cukup sigap merespon keputusan Hakim YUKA dengan berbagai argumen yang menyudutkan dan menyalahkannya?

Semua pertanyaan di atas terasa wajar mengingat apa yang dialami Hakim Sarpin Rizaldi setelah mengabulkan permohonan praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan. Mungkin saja reaksi publik sekarang sedikit berbeda dengan apa yang dialami Hakim Sarpin Rizaldi, mengingat publik sudah mendapat kepastian hukum setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa penetapan tersangka termasuk salah satu obyek permohonan  praperadilan. Meski demikian, publik tetap harus memberikan respon berupa telaah kritis terhadap putusan itu, sehingga ke depan marwah KPK sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi tetap terpelihara dan tidak tergerus oleh upaya-upaya yang bertujuan untuk membonsai peran KPK.

Harus diakui bahwa keputusan Sarpin Rizaldi yang mengabulkan permohonan praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan telah menjadi preseden oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh KPK karena menetapkan status tersangka. Tapi harus diakui pula bahwa “ijtihad” hukum yang dilakukan oleh Hakim Sarpin Rizaldi telah memberi atau membuka jalan dan ruang bagi setiap orang yang merasa hak asasinya dikebiri dapat melakukan upaya hukum untuk mencari kebenaran dan keadilan. Lepas dari keputusan hakim dalam menangani setiap permohonan praperadilan atas penetapan status tersangka kepada seseorang itu merugikan dan atau menguntungkan salah satu pihak.

***

Keputusan Hakim YUKA menerima permohonan praperadilan yang diajukan mantan walikota Makassar ini, seakan ingin mengikuti jejak yang sudah dipetakan sebelumnya oleh Hakim Sarpin Rizaldi. Hakim YUKA seakan sadar akan “resiko” yang mungkin diterima ketika opini arus utama (mainstream) begitu kuat menolak permohonan praperadilan oleh para tersangka korupsi. Lepas dari pertimbangan hukum berdasarkan fakta-fakta persidangan, pasti Hakim YUKA sudah membayangkan kemungkinan resiko yang akan diterima, ketika ia berketetapan hati mengikuti “jejak” Hakim Sarpin Rizaldi.

Hakim Sarpin Rizaldi sudah merasakan bagaimana ia harus menantang arus, bahkan bersedia untuk di-bully habis-habisan. Setiap saat, semua kelompok masyarakat mencaci-maki, mengumpat, mengolok-olok, hingga dengan legowo “dikriminalisasi” oleh opini dan lembaga penegak kehormatan dan keluhuran hakim, seperti KY. Kondisi yang dialami Hakim Sarpin Rizaldi pasti sudah diketahui oleh Hakim YUKA. Tapi, mengapa ia masih saja “nekad” mengabulkan permohonan praperadilan dari tersangka kasus korupsi (pula)?

Bisa jadi, Hakim YUKA merasa posisinya sedikit lebih kuat saat ini, mengingat penetapan tersangka sudah diputuskan masuk sebagai salah satu objek praperadilan oleh MK. Dengan kesadaran seperti itu, ia bisa berlindung di balik keputusan MK. Apa pun penilaian publik terhadap keputusannya mengabulkan permohonan praperadilan Mantan Walikota Makassar, hal itu tidak cukup kuat untuk menjadikannya sebagai sasaran tembak.

Seperti biasa apabila suatu keputusan dari suatu kasus yang menjadi perhatian publik dianggap kurang memberi ruang untuk mengakomodasi opini publik, pasti akan menimbulkan kontroversi, pro dan kontra. Publik mungkin saja merasa kecewa dengan keputusan Hakim YUKA. Tapi, publik juga harus bersikap rasional bahwa keputusan yang diambil oleh Hakim YUKA memiliki landasan dan dasar yang kuat pula. Meski demikian, menarik untuk kita tunggu bagaimana reaksi para pegiat antikorupsi dan pihak-pihak terkait lainnya menanggapi keputusan Hakim YUKA ini.

***

Tanggapan pertama berasal dari lingkungan KPK. Dari lingkungan KPK terdengar suara sumbang yang mempersoalkan keputusan Hakim YUKA. Menurut salah satu pimpinan KPK Indrianto Senoadji, bahwa “KPK tetap menghormati putusan hakim praperadilan, tapi ia juga menyayangkan kelalaian dari putusan hakim” (sumber  di sini). Kelalaian tersebut menurut Indrianto Senoadji, "karena hakim melakukan penilaian atas eksistensi alat bukti yang merupakan soal yuridis dalam pokok perkara di Pengadilan Tipikor, bukan pada mekanisme praperadilan yang menguji prosedural" (sumber  di sini).

Selanjutnya, KPK akan mempelajari putusan hakim kemudian mempertimbangkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk merespon keputusan pembatalan status tersangka terhadap IAS. Menurut Johan Budi, "kami menghormati keputusan hakim, kami akan mengambil langkah-langkah hukum terkait putusan hakim tersebut" (sumber di sini). Selanjutnya Johan menyatakan, “Pihaknya (KPK) mempertimbangkan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan ulang dan kembali menetapkan Ilham sebagai tersangka. Kalau ada hal yang kurang tapi ternyata kita punya, bisa saja kita nanti menerbitkan sprinlidik atau sprindik yang baru." (sumber di sini).

Terhadap ancaman KPK yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan ulang terhadap dirinya, yang berarti masih terbuka peluang akan menjadi tersangka (kembali), IAS menanggapinya dengan santai. IAS mengatakan bahwa "saya kira lembaga KPK dikelola oleh manusia yang bisa membuat kesalahan. Jadi tidak perlu menyalahkan siapa-siapa" (sumber di sini).

Sejauh ini baru internal KPK yang memberi tanggapan terhadap putusan hakim. Hal ini itu wajar mengingat KPK merupakan pihak tergugat dalam hal permohonan praperadilan yang diajukan IAS. Sedangkan kelompok-kelompok di luar KPK, seperti pegiat antikorupsi, misalnya ICW, PUKAT, dan lain-lain masih belum terdengar suaranya. Padahal jika suatu kasus berkaitan masalah korupsi, kelompok-kelompok ini yang paling keras dan lantang berteriak.

Beda suasananya ketika Hakim Sarpin Rizaldi memutuskan menerima permohonan praperadilan yang diajukan Komjen (Pol) Budi Gunawan. Segera setelah Hakim Sarpin Rizaldi membacakan putusannya, maka meluncur pula dengan deras “sumpah serapah”. Tidak hanya menyerang putusan, tapi juga pada batas-batas tertentu malah lebih jauh menyerang Hakim Sarpin Rizaldi secara personal.

Berkaca pada kedua putusan hakim praperadilan pada kasus Komjen (Pol) Budi Gunawan dan kasus IAS, ke depan KPK harus lebih cermat dan berhati-hati dalam menetapkan status tersangka kepada seseorang. Tidak bertindak grasa-grusu, sehingga ujug-ujug mengeluarkan sprindik untuk melakukan penyidikan kepada seseorang, tanpa melalui suatu penyelidikan yang memadai untuk mendapatkan minimal dua alat bukti yang cukup. Jika tidak, fenomena “mempermalukan” KPK akan terus-menerus muncul oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat penetapan status tersangka terhadap diri mereka.

***

Penantian IAS berbuah manis. Ekspresi sujud syukur keluarga besar dan tim kuasa hukum IAS sesaat setelah mendengar putusan hakim yang mengabulkan permohonan praperadilan, memberikan gambaran kelegaan setelah lebih dari satu tahun menanggung beban menjadi tersangka. Apalagi sebagai tersangka kasus korupsi. Bagaimana tidak, ketika mengakhiri periode kepemimpinannya di Kota Makassar, bukannya “penghargaan” yang didapat, malah kado pahit sebagai tersangka harus disematkan KPK di pundaknya.

Dalam rentang waktu satu tahun enam hari (ditetapkan menjadi tersangka 7 Mei 2014), IAS dan keluarga berada dalam bayang-bayang dan stigma sebagai “koruptor”. Selama rentang waktu itu pula IAS dan keluarganya harus menanggung beban “malu” dan stigma negatif. Karena itu, IAS merasa sangat plong ketika Hakim YUKA memutuskan membatalkan status tersangka yang “dipaksa” harus disandangnya. Bagi IAS dan keluarga rentang waktu satu tahun (lebih sedikit) bukan merupakan waktu yang pendek untuk menanggung beban berat sebagai tersangka. Apalagi sebagai seorang mantan Wali Kota. Karena itu, IAS patut bersyukur dan berucap Alhamdulillah, ...

***

Di pihak lain, Hakim YUKA juga harus bersiap-siap menerima hujatan atas keberaniannya “melawan” arus mengikuti jejak Hakim Sarpin Rizaldi. Seperti apa hujatan, cacian, makian, olok-olok, umpatan, dan sejenis lainnya, atau efek ikutannya, misalnya YUKA effect seperti yang dialami Hakim Sarpin Rizaldi masih harus ditunggu. Tapi, saya yakin, Hakim YUKA sudah mempersiapkan diri, baik secara lahir maupun bathin untuk menerima semua resiko itu. Mungkin bagi Hakim YUKA, inilah jalan “ijtihad” sebagaimana yang telah ditunjukkan Hakim Sarpin Rizaldi. Dalam persepktif agama, “ijtihad” bila mengandung kebenaran memberi dua point sekaligus, kemanfaatan untuk dirinya pribadi, dan juga kemanfaatan untuk orang lain (masyarakat), karena itu  mendapat ganjaran dua pahala. Tapi, jika pun “ijtihad” yang dilakukan itu, masih dianggap kurang sempurna, sehingga masuk kategori salah, toh masih tetap mendapat reward satu pahala. Mengapa masih diberi nilai satu pahala, karena mengapresiasi terhadap nilai usaha yang sudah dilakukan.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 13 Mei  2015

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun