Pinokio dan hidung panjangnya, Simbol Kebohongan
Oleh : eN-Te
Hiruk pikuk pergantian dan rotasi jajaran pimpinan Polri sudah redah. Pencopotan Komjen (Pol) Budi Waseso (Buwas) dari jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri bukan lagi menjadi isu. Tapi sudah berubah wujud dan “bermetamorfosa” menjadi fakta. Buwas yang kontroversial dan terpaksa harus mendapat predikat “Mr. Brutal” karena telah melakukan "tindakan kriminalisasi" selama menjabat sebagai Kabareskrim resmi sudah menanggalkan jabatan Kabareskrim. Pelantikan Kabareskrim yang baru, Komjen (Pol) Anang Iskandar pun sudah dilakukan, kemarin, Senin (7/9/2015). Sementara untuk pelantikan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang baru, Buwas, yang sebelumnya diduduki Anang Iskandar, berlangsung hari ini, Selasa (8/9/2015). Baik Anang maupun Buwas dilantik oleh Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti.
Meski demikian, rumor tentang pencopotan Buwas masih menjadi teka-teki dan menyisakan tanya. Sebagian publik Indonesia masih bertanya-tanya, apa gerangan kesalahan seorang Buwas sehingga harus “dilengserkan”? Sebab publik tidak begitu saja percaya atas berbagai penjelasan, baik bersifat pembelaan maupun apologi (dalih, alasan yang dicari-cari untuk membenarkan suatu perbuatan, KBBI, 2008, h. 309) untuk memberikan justifikasi terhadap “musibah” yang menimpa Buwas.
Bagi penulis, berbagai penjelasan, mulai dari Kapolri, Menko Polhukam, Menteri Bappenas, Menteri BUMN, maupun Wakil Presiden (Wapres), hanya semakin membuat publik tidak percaya, bahwa pemimpin kita sudah berkata jujur. Tentang penjelasan Kapolri, para Menteri, dan Wapres, dapat dibaca/diakses karena semua sudah terungkap dengan jelas pada berbagai media online maupun media massa, cetak maupun elektronik.
Padahal di sisi lain, publik percaya bahwa ada “sesuatu” di balik pencopotan (eufemismenya: pergeseran) Buwas dari Kabareskrim ke Kepala BNN. Tidak bisa tidak terelakkan, nuansa politis tetap terasa kuat aromanya, apapun bentuk pembelaan dan apologi terhadap proses pergantian itu. Celakanya, semakin “diklarifikasi”, semakin kuat dugaan bahwa memang ada “sesuatu” di balik pencopotan itu. Bahkan lebih jauh, malah menunjukkan ada “sesuatu” yang disembunyikan, tapi takut diungkap secara jelas dan transparan. Maka yang tertangkap oleh publik adalah “kebohongan”. Dan fenomena “kebohongan” oleh elit penguasa ini, tidak disadari membawa pengaruh buruk terhadap proses pembentukan karakter bangsa.
Fakta yang tak bisa terbantahkan bahwa isu pencopotan Buwas menyeruak ke permukaan dan kemudian terbukti benar-benar diganti, setelah R. J. Lino merasa keberatan atas proses penggeledahan Pelindo II oleh penyidik Bareskrim dengan menghubungi beberapa menteri dan juga Wapres. Publik meyakini bahwa isu kegaduhan yang “dituduhkan” dilakukan oleh Buwas setelah percakapan ala R. J. Lino dan Menteri Sofyan Djalil yang dengan sengaja diperdengarkan kepada wartawan. Jadi bukan karena sepak terjang Buwas dan timnya dalam menangani suatu kasus pidana (umum maupun khusus, tipikor). Meski sebelumnya ada langkah “split (terpeleset)” yang dilakukan oleh Buwas ketika menjadikan komisioner KPK menjadi tersangka, yang memunculkan istilah kriminalisasi. Tapi dalam kasus Buwas, terasa benar “kebohongan” elit penguasa.
Ketika pada rezim Orde Baru dengan komandannya, Jenderal Besar Soeharto, ungkapan-ungkapan eufemisme menjadi hal yang lumrah. Kenaikan harga dikatakan sebagai penyesuaian harga. Pencopotan suatu jabatan yang sedang dipegang seseorang, kemudian digantikan dengan pejabat lainnya, dikatakan sebagai mutasi biasa sebagai pejabat pemerintah. Bahkan biar kelihatan sedikit lebih keren digunakan istilah regenerasi. Seseorang yang karena bersikap kritis dan dianggap mengancam, kemudian “didepak” dijadikan duta besar (dubes), disebut sebagai dikaryakan. Ketika rezim Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa pernah pula memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), dikatakan sebagai subsidi rakyat miskin. Padahal model BLT merupakan bentuk pendidikan paling buruk terhadap etos kerja dan kemandirian. Hanya menciptakan rakyat bermental pengemis, mental menengadahkan tangan, bukan mendidik masyarakat menghargai karya sendiri dengan bersikap ulet, mandiri, dan mampu berderma. Dan masih banyak kasus lainnya, semuanya dikamuflase dalam ungkapan-ungkapan penghalus, eufemisme. Eufemisme kemudian diterima sebagai hal yang biasa dalam wajah pemerintahan Indonesia. Kebohongan dibungkus dengan kamuflase berbau eufemisme.
Eufemisme sendiri berarti gaya bahasa pelembut dengan cara menggantikan kata-kata dengan kata lain yg lebih sesuai dan tidak menyinggung perasaan (KBBI, 2008:402). Perasaan lebih dikedepankan dibandingkan rasionalitas berdasarkan kebenaran nurani dan akal sehat. Berbohong untuk tidak menimbulkan “kegaduhan” baru lebih diutamakan dibandingkan mempersiapkan generasi anak bangsa yang berkarakter dan berintegritas. Jika pengkondisian berbohong ini tetap berlanjut, jangan berharap mimpi ingin menciptakan negeri yang bebas dari korupsi dengan pemerintahan yang bersih (dan juga jujur) hanya tinggal menjadi utopisme tanpa ujung.
Dalam kasus “musibah” pencopotan Buwas, penulis tetap merasa ada sesuatu yang belum semuanya dibuka untuk memenuhi hak publik, hak untuk mengetahui alasan di balik suatu peristiwa. Begitu pula dengan gonjang-ganjing Ketua DPR RI, Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, beranjangsana bertemu dengan calon presiden AS, Donal Trump. Bagi publik Indonesia apa yang dilakukan Setya dan Fadli Zon, cs., telah mencederai hati rakyat dan menghancurkan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dan berdaulat. Eee, malah si Fadli Zon, memberikan pembelaan yang cenderung kekanak-kanakkan, bahkan berencana akan melakukan somasi terhadap Imam Besar Masjid di New York. Reaksi yang diberikan oleh Fadli Zon dan pembelaan kolega-koleganya, dengan berbagai dalih, hanya ingin menutupi fakta sebenarnya. Kembali, “kejujuran” itu menjadi sesuatu yang langkah di negeri ini.