Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Geger Al-Maidah 51, Menanti Buni Yani Mengikuti Jejak Ahok

13 Oktober 2016   09:52 Diperbarui: 13 Oktober 2016   10:15 4293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr. gbr. : http://style.tribunnews.com/2016/10/10/ahok-minta-maaf-reaksi-netizen-di-twitter-sebut-sebut-nama-buni-yani

Geger tafsir surah al-Maidah ayat 51 ala Ahok sudah mulai sedikit redah. Kondisi ketentaraman itu kembali menghadirkan rasa sejuk dan nyaman. Alhamdulillah, atmosfir politik dan sosial Indonesia, dan ibukota khususnya, sudah mulai adem kembali, setelah sebelum sempat hangat dan memanas akibat ‘ulah’ Ahok menyentil al-Maidah 51, setelah ada inisiasi meminta maaf. Ulah mana oleh sebagian umat Islam dianggap sebagai ‘penistaan agama’ dan atau kitab suci Al-Qur’an.

Lepas dari ‘niat’ Gubernur DKI Jakara Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok tulus atau tidak, inisiasi meminta maaf itu telah memberi kontribusi dalam menciptakan rasa damai dan merekatkan kembali rasa persaudaraan demi  persatuan dan kesatuan bangsa. Meski tidak sedikit pula yang merasa belum puas dan ragu dengan permintaan maaf itu. Karena itu, apapun alasannya mereka mendesak agar pihak kepolisian untuk tetap melanjutkan memproses pengaduan mereka tentang ‘penistaan agama’ itu.

Kita menghargai pihak-pihak yang masih bersikeras ingin menghukum Ahok. Silahkan melanjutkan misi ‘mengejar’ Ahok dan mudah-mudahan pihak penegak hukum dapat berlaku adil dalam menegakkan kebenaran itu.  

Kita juga tidak ingin memaksa orang untuk dengan kerendahan hati pula mau menerima permintaan maaf seseorang karena telah melakukan sebuah ‘keteledoran’. Apakah ‘keteledoran’ itu dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Satu hal yang perlu dipahami bahwa, seseorang dapat saja berbuat ‘teledor’, karena sudah merasa gerah dengan segala provokasi hingga tak mampu lagi menyanggah beban tekanan. Begitu pula dengan Ahok dalam konteks Pilkada DKI 2017.

Jauh sebelum hingar bingar perhelatan Pilkada DKI 2017, resistensi terhadap Ahok sebagai orang yang dilahirkan beretnis Tionghoa (China), dan juga beragama Kristen (non-Islam/nonmuslim) sudah mengemuka dan menggema di ruang publik. Saking gaduhnya mempersoalkan identitas Ahok ini, hingga menimbulkan riak-riak pada atmosfir politik nasional, yang merembet pula pada harmonisasi interaksi sosial. Sampai pada puncaknya, Ahok harus keseleo lidah, melakukan ‘penistaan agama’ sebagaimana yang dituduhkan.

Pihak-pihak yang selama ini menunggu di tikungan, memanfaatkan momentum itu untuk ‘memenjarakan’ Ahok. Maka permintaan maaf yang telah dirilis pun tak berarti apa-apa. Penolakan ini bukan semata masalah ‘niat’, tapi lebih jauh karena masalah identitas Ahok, yang China lagi ‘kapir’.

Meski masih ada kelompok yang menolak permintaan maaf karena meragukan niat Ahok, kita patut mengangkat topi untuk sebuah keberanian menyatakan sikap. Sikap lebih mementingkan kemaslahatan bersama daripada mempertahankan ego hanya semata karena alasan politis.

Berbeda jauh dan mungkin sangat jomplang antara sikap yang diperlihatkan Ahok yang China lagi ‘kapir’ ini, dibandingkan dengan sikap seorang Buni Yani, yang telah dengan sengaja memantik api ‘permusuhan’. Buni Yani yang beridentitas ‘pribumi’ penganut agama mayoritas penduduk negeri ini, ternyata seseorang yang bernyali kecil dan sangat tidak jantan.

Buni Yani merasa tidak bersalah sedikitpun. Bahwa karena ulahnya memotong dan kemudian memosting video pidato Ahok mengenai tafsir surah al-Maidah 51, sehingga membuat negeri ini hampir berada di ujung jurang. Bahkan sambil memelas, ketika hadir pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) pada Selasa (11/10/2016), Buni Yani masih mencoba mengelak. Padahal dia sendiri menurut pengakuannya merasa khawatir dan takut akan ‘dipolisikan’ karena peristiwa vedio pidato Ahok itu, akan tetapi tidak ada sedikit keluar pernyataan penyesalan dan memohon maaf (baca di sini).  

Buni Yani, yang mengaku sebagai mantan wartawan Tempo, jebolan Amerika, dan juga dosen, tapi rupanya nyalinya hanya secetek. Dengan ‘polosnya’, Buni Yani mengaku bahwa dia gemetaran ketika dia dan pengacaranya mendatangi kantor polisi untuk melaporkan balik kelompok pendukung Ahok yang telah melaporkan dia ke polisi.

Menurut Buni Yani, ia merasa sangat khawatir karena akibat postingan memelintir video pidato Ahok yang telah dipotong dari durasi aslinya, sehingga harus ‘dipolisikan’. Buni Yani mengaku, gemetar ketika ia bersama tim kuasa hukumnya juga membuat laporan balik terhadap Komunitas Muda Ahok Djarot (Kotak Adja).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun