[caption caption="Sumber : news.liputan6.com"][/caption]Oleh : eN-Te
Ketika pertama kali mendengar bahwa DPP PKS memecat Fahri Hamzah (FH) karena “ulahnya” selama ini, saya sempat berpikir untuk menulis artikel tentang Jonru Ginting (selanjutnya disebut Jonru saja). Jonru yang oleh sebagian warga dan kader PKS hampir saja dinobatkan jadi “nabi” dalam hal plintir memelintir berita dan informasi. Bahkan dalam batas-batas tertentu Jonru tak segan-segan “merekayasa” berita dan informasi hanya untuk memenuhi kehausdahagaan kader PKS untuk membalaskan sakit hati dan kebencian mereka terhadap Presiden Jokowi.
Jonru dikenal merupakan salah seorang kader PKS yang sangat militan dan gigih “menyerang” Jokowi, sejak dari masa pencalonannya sebagai calon presiden (capres) sampai setelah terpilih menjadi Presiden RI. Hanya saja, setelah DPP PKS pimpinan Sohibul Iman “menyambangi” Presiden di Istana, sikap “kritis” Jonru sedikit mereda. Atmofsir politik Indonesia kembali sedikit menampilkan wajah yang lebih ramah, setelah Jonru “menarik” diri kegaduhan dunia pergosipan dan perfitnahan.
Itu gambaran singkat tentang inspirasi yang muncul ketika mendengar FH dipecat, dari keanggotaannya sebagai kader PKS. Tiba-tiba berkelebat dalam pikiran saya, kalau FH dipecat hanya karena “ulahnya” yang kurang mengikuti kebijakan partai, bagaimana dengan si Jonru? Seseorang yang selama ini membuat PKS dicap sebagai partai pendukung ghibah, gosip, dan fitnah?
Ulah Jonru diakui atau tidak telah banyak membawa mudharat terhadap PKS ketimbang manfaatnya. Jonru memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap keterpurukan citra PKS. Tapi rupanya Jonru seakan mempunyai “kekuatan” lebih untuk bisa bertahan dari penegakkan disiplin partai sebagaimana alasan yang digunakan untuk memecat FH. Meski demikian, menimbang sepak terjang Jonru selama ini yang sungguh membuat PKS sedikit “kelimpungan”, saya jadi bertanya, setelah FH, kapan giliran Jonru?
***
FH ternyata tidak cukup cerdas sebagaimana Jonru. FH kurang dapat memahami trik-trik yang digunakan Jonru untuk menghindar dari kemungkinan dipecat sebagai kader partai PKS. Padahal bila dibandingkan dengan kesalahan FH, “dosa” Jonru lebih besar terhadap PKS. Harus diakui bahwa karena ulahnya yang kebablasan, sehingga suara PKS mengalami kemerosotan yang cukup tajam pada Pemilu Legislatif 2014. Tapi hal itu bagi DPP PKS bukan merupakan masalah yang serius, mengingat Jonru bukan merupakan pejabat partai, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki akses dalam hal mempengaruhi kebijakan pemerintah (publik).
Sementara FH memiliki posisi dan predikat yang sangat prestisius meski tidak memiliki jabatan struktural di DPP PKS. Dalam pandangan DPP PKS, seharusnya dalam posisi demikian FH lebih sedikit wise. Mampu menempatkan posisi politiknya secara cerdas dan “lihai” dalam konstatasi politik yang sangat dinamis saat ini. Juga dalam atmosfir politik yang penuh intrik dan persaingan.
Sayang sekali FH lalai dalam membaca perubahan sikap politik pimpinan PKS sejak pergantian pucuk pimpinan di DPP PKS. FH merasa tak akan tersentuh meski menunjukkan sikap yang “tak ramah” terhadap rezim yang memerintah saat ini. FH seakan menunjukkan bahwa meski ia bersikap “mbalelo” tidak mungkin pimpinan PKS mengambil tindakan mendisiplinkannya secara ekstrim. Memecatnya dari keanggotaan pada semua level dan sekaligus menggantikan posisinya dari Wakil Ketua DPR RI.
***
Akibat lebih lanjut dari kehilangan keanggotaan partai maka beresonansi berkonsekuensi pada kedudukannya sebagai Wakil Ketua DPR RI. Artinya ketika keanggotaan partai sudah tidak melekat pada dirinya maka pada waktu bersamaan (seharusnya) gugur pula status dan posisinya sebagai Wakil Ketua DPR. FH tidak pernah menyangka dan membayangkan bahwa sikap vokalnya selama ini akan berbuah pemecatan.