Kerja gotong royong sebagai simbol manausia sebagai makhluk sosial (sumber gambar)
Kali ini saya ingin membagi “pengalaman” tak terduga yang terjadi dalam hari yang sama. “Pengalaman” yang membuat saya sendiri menjadi masygul. Saya masygul, karena “pengalaman” itu membuat saya harus merasakan dobel apes. Meski demikian, saya ingin mengambil hikmah dari “insiden” itu untuk melihat nilai kebanggaan (pribadi) dan hubungan kemanusiaan dalam perspektif hubungan sosial dengan tetangga.
Hari Sabtu kemarin (19/9/15) kedua pengalaman yang kurang menggembirakan itu terjadi. Satu terjadi pada pagi hari, sekitar pukul 07.20 Wita, sedangkan satunya lagi terjadi ketika waktu hendak menunjuk pukul 15.00 Wita, menjelang sore.
Cerita Apes Satu
Cerita berawal ketika isteri saya membangunkan saya, seperti biasa untuk mengantarnya ke sekolah, tempat mengajarnya. Ketika saya terbangun saya melihat jam dinding sudah menunjukkan waktu lewat dari jam tujuh. Segera setelah itu saya langsung menuju kamar mandi untuk membasuh muka, kemudian mengambil kunci kontak mobil untuk segera ke tempat parkir mobil. Saya biasanya memarkir mobil di lapangan di depan masjid, di dekat rumah. Jarak rumah ke masjid sekitar 50-100 meter.
Kebetulan ketika membangun rumah dulu tidak terpikirkan menyiapkan secara khusus sebuah ruang yang diperuntukan buat grasi kendaraan. Hanya sedikit halaman teras yang berukuran lebar 1,5 meter dan panjang 8 meter. Itupun permukaannya tidak rata seluruhnya, tapi dibuat bergradasi. Halaman teras itu hanya dapat menampung dua sampai tiga kendaraan sepeda motor yang diparkir secara memanjang.
Biasa pula saya memasukkan mobil ke rumah dan memarkirkannya di depan pagar rumah di jalan stapak menuju rumah. Akan tetapi karena pernah suatu ketika sarung penutup mobil saya dirobek oleh tangan-tangan usil tetangga yang biasa berkumpul minum-minuman keras bersama teman-temannya di jalan stapak itu. Mungkin mereka sudah merasa kadung jengkel karena merasa parkir mobil menghalangi kebebasan dan kelancaran lalu lintas warga. Memang ketika ada mobil sudah terparkir di stapak itu, maka tidak dapat lagi mobil lain bisa lewat. Ruang yang tersisa dari jalan stapak itu ketika sudah ada mobil terparkir, hanya dapat dilalui sepeda motor, dan tentu saja juga bagi pejalan kaki. Meski demikian, bukan hanya mobil saya, tetapi ada juga mobil tetangga juga terparkir di jalan stapak itu. Cuman saya tidak mengerti, mengapa pula hanya mobil saya yang menjadi sasaran kejengkelan.
Sejak “peristiwa” sarung penutup mobil saya dirobek di depan pagar rumah di jalan stapak itu, saya memutuskan untuk selanjutnya memarkirkan mobil di halaman parkir masjid pas di samping lapangan sepakbola. Pertimbangannya karena sebagian tetangga yang lain juga memarkirkan mobil mereka di daerah itu pula. Kurang lebih ada sampai lima bahkan kalau dihitung keliling lapangan sepakbola itu maka bisa lebih dari 10 mobil yang terparkir di lapangan parkir (dekat) masjid itu. Di samping pertimbangan lain, yakni saya tidak menginginkan mobil saya menjadi sasaran aksi vandalisme ala tetangga. Jika itu terjadi bukan saja menimbulkan kerugian materi, tapi juga menimbulkan kerugian social, dapat merusak hubungan silaturahim dan kekeluargaan dengan tetangga. Sayangnya kekhawatiran saya pada hal yang kedua inilah yang terjadi, yang akan saya ceritakan pada “apes” yang kedua.
Kembali ke cerita awal. Setelah saya membasuh muka dan keluar dari kamar mandi, saya langsung mengambil kunci kontak mobil dan menuju ke halaman masjid di mana mobil terparkir. Saya sampai di tempat parkir mobil dan langsung membuka sarung penutup mobil, kemudian menyalakan mesin untuk memanaskannya. Kebetulan di belakang mobil saya, terparkir sebuah sepeda motor, kurang lebih satu meter. Sambil menunggu mesin mobil panas dan isteri saya datang, saya duduk di pinggir masjid di dekat sepeda motor itu. Rupanya sepeda motor itu milik seseorang yang sedang berolahraga lari pagi dengan mengelilingi lapangan sepakbola di dekat masjid itu. Surprise-nya lagi, ia seorang anggota polisi, yang saya tahu setelah ia selesai olahraga dan mendatangi saya dari t-shirt dengan lambang polisi di dada yang dia kenakan. Nah, apes yang pertama yang saya maksud itu berawal dari sini.
Ceritanya berawal ketika si polisi itu yang sedang berolahraga melihat saya duduk di dekat sepeda motornya, yang diparkir satu meter di belakang mobil saya. Bila mobil akan dijalankan, maka harus memundurkannya terlebih dahulu, sementara untuk maju mengambil posisi supaya bisa bergerak mundur tidak ada ruang. Soalnya di depan mobil saya, terparkir juga mobil dengan jarak yang cukup dekat. Satu-satunya jalan agar mobil bisa keluar dari kondisi itu, ya dengan memundurkannya terlebih dahulu. Konsekuensinya, sepeda motor yang di belakang mobil harus dipindahkan dulu. Tapi rupanya sepeda motor itu dikunci stirnya. Itu saya tahu ketika duduk dekat motor itu saya mencoba menggerakkan stirnya.
Celakanya yang punya sepeda motor, si anggota polisi itu tadi, waktu melihat saya duduk dekat sepeda motornya, dia langsung “mencurigai” saya. Mungkin dalam hatinya, bahwa saya akan berbuat hal buruk (berniat jahat) dengan motornya, atau tas dan isinya (katanya ada HP di dalam ta situ), yang juga dia simpan di motor itu. Saya mengetahui bahwa si polisi itu tadi berpikir negatif terhadap saya, karena selama dia berlari mengelilingi lapangan bola untuk putaran terakhir sejak melihat saya, dia selalu menoleh dan menunjuk-nunjuk saya. Dan itu dilakukan beberapa kali sampai kemudian dia menghentikan olahraga lari paginya.