Oleh : eN-Te
[caption id="attachment_379565" align="aligncenter" width="318" caption="sumber: merdeka.com"][/caption]
Jagad dan atmofsir perpolitikkan Indonesia mungkin akan kembali menghangat. Publik kembali diajak terlibat perdebatan dalam pro kontra terhadap kehadiran figur Budi Gunawan dalam kancah perpolitikkan Indonesia, khususnya pada pencalonan posisi Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri). Rupanya figur dan profil Budi Gunawan ternyata kurang “bersahabat” bagi publik Indonesia, khususnya kelompok-kelompok yang selama ini cenderung telah dengan “sengaja” memberi stigma negatif terhadap sepak terjangnya dalam membina karier di institusi POLRI.
Resistensi
Sejak dua sampai tiga bulan terakhir, seorang Budi Gunawan mungkin saja pernah terbetik dan berpikir dalam hatinya, apa dosa dan salah ibu melahirkan. Apa dosa dan salahnya terhadap negeri ini, sebagai tanah tumpah darahnya pula. Hingga ketika atas kesadaran dan prestasi personal dan pula sosial, ingin menunjukkan pengabdian terhadap bangsa dan negeri yang telah “membesarkannya”, malah mendapat resistensi yang demikian kuat dan massif. Sampai pada batas-batas tertentu dijadikan sebagai “musuh” oleh publik (public enemy).
Tak kalah dengan seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, turut pula memberi warning kepada Sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan (Wanjakti) POLRI agar tidak menambah masalah baru dengan tidak memilih Budi Gunawan sebagai Wakapolri (sumber). Seakan-akan seorang Budi Gunawan adalah pembawa virus yang sangat berbahaya, sehingga apabila Wanjakti menunjuknya untuk menempati posisi Wakapolri, maka virus mematikan yang dibawanya tersebut akan menyebar kepada seluruh sendi-sendi institusi POLRI sebagai salah satu pilar penegakkan hukum di negeri ini, khususnya dalam hal pemberantasan korupsi. Seolah-olah bila seorang Budi Gunawan “hadir” maka akan membuat pemandangan panorama yang indah di instusi POLRI menjadi tak berarti.
Sensasi Budi Gunawan
Indonesian Police Watch (IPW) melalui Ketua Presidumnya, Neta S. Pane, kemarin, Selasa (21/04/2015) mengkonfirmasi bahwa Budi Gunawan telah ditunjuk oleh Wanjakti POLRI untuk menduduki posisi Wakapolri (sumber). Menurut Neta, secara bulat, Wanjakti plus, yang pada sidang yang dihadiri oleh semua anggota, mulai dari berpangkat bintang tiga (Komjen) dan bintang dua (Irjen) di Mabes POLRI serta beberapa Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) sepakat menunjuk Budi Gunawan sebagai Wakapolri menggantikan Badrodin Haiti, yang naik pangkat menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Seperti halnya yang lalu-lalu, informasi tentang terpilihnya Budi Gunawan sebagai Wakapolri menyeruak ke publik, maka gonjang-ganjing polemik pro kontra pun kembali membahana. TV One sebagai salah satu media “oposisi” pemerintah segera menangkap peluang ini sebagai salah satu berita sensasional yang perlu dimanfaatkan untuk “mempermainkan” perasaan publik. Maka tanpa harus menunggu pake lama, TV One segera menjadikan informasi tentang Budi Gunawan yang “terpilih” sebagai Wakapolri sebagai tema seksi dalam acara atau program yang ditukangi Karni Ilyas, Indonesia Lawyer Club (ILC). Padahal sebelumnya, sudah diiklankan bahwa pada Selasa (21/04/2015), ILC akan mengangkat tema tentang perseteruan antara Kementerian Olahraga (Menpora) dengan PSSI. Tetapi, ketika informasi tentang telah terpilihnya Budi Gunawan menjadi Wakapolri, segera TV One dengan sigap mengganti tema dalam acara ILC tadi malam.
Menimbang Kelayakan
Penulis tidak ingin terlibat dalam posisi mendukung atau menolak Budi Gunawan sebagai Wakapolri. Sepanjang penunjukkan seorang Budi Gunawan sudah melalui prosedur dan mekanisme yang benar menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, maka hal itu sah-sah saja. Lepas dari stigma negatif yang mungkin saja melekat dan “dilekatkan” pada figurnya, sehingga oleh kelompok-kelompok yang cenderung antipati terhadap Budi Gunawan, bersikap resisten, bahkan dengan sengaja berusaha menggiring opini publik untuk menghakimi seorang Budi Gunawan. Padahal secara faktual dan melalui proses hukum telah membuktikan bahwa Budi Gunawan tidak bersalah. Meskipun keputusan hakim Sarpin Razaldi masih terus dipersoalkan sampai hari ini. Bisa jadi ada argumen yang menyatakan bahwa meski telah memenangkan proses praperadilan, hal itu tidak otomatis dengan begitu saja menghapus stigma negatif yang terlanjur melekat.
Yang menarik dari semua perdebatan selama ini tentang pencalonan Kapolri maupun Wakapolri, adalah tentang sikap Budi Gunawan. Ia seakan bergeming dengan semua perdebatan yang ada. Budi Gunawan seakan membiarkan perdebatan pro kontra itu bersileweran di ranah publik mempersoalkan profilnya. Ya tentang prestasinya, ya tentang sepak terjangnya (track record), baik yang positif maupun yang negatif, tentang marwah dan kebesaran instiusi POLRI, maupun hal-hal lain yang mungkin sangat tidak berkaitan dengan dirinya. Budi Gunawan tetap “diam”, seolah tidak ingin menambah keruh suasana. Ia membiarkan apa maunya publik “menilai” dirinya. Mau putih atau hitam, bukan menjadi haknya untuk melarang. Karena, mungkin bagi Budi Gunawan, ia tidak bisa mengintervensi “persepsi” setiap individu. Apalagi persepsi publik, yang bisa jadi sangat tergantung dan terpengaruh pada seberapa besar mainstream (arus utama) memberi nilai pada sebuah objek. Apatah lagi menyangkut profil dan figur seseorang. Padanya melekat dua perilaku yang saling bersisian, buruk dan baik, bagai dua sisi mata uang, yang hampir tidak bisa dipisahkan. Memisahkan salah satu sisinya akan membuat mata uang itu tidak lagi berarti dan berfungsi sebagai sebuah alat bayar dan alat tukar.
Persoalannya adalah mana yang perlu lebih ditonjolkan, nilai-nilai kebaikan atau sisi buruk. Sudah pasti, semua sepakat bahwa yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai baik dan menghilangkan nilai-nilai buruk. Sebagaimana pada ajaran semua agama samawi maupun produk pemikiran manusia, melarang untuk menjadikan kejahatan sebagai trade mark dan brand kebanggaan. Karena pada dasarnya setiap manusia (individu) dilahirkan dalam fitrahnya yang hanif (cenderung ingin melakukan hal-hal yang baik).
Budi Gunawan menyadari betul dengan dinamika yang sedang terjadi di ranah publik, sehingga seakan membiarkan hal itu begitu saja mengalir. Budi Gunawan pasti menyadari betul bahwa setiap aksi tidak harus direspon secara berlebihan dengan sikap-sikap eksplosif- reaktif. Sikap-sikap eksplosif-reaktif hanya menunjukkan ego pribadi yang tidak elegan, menunjukkan sikap kekanak-kanakkan. Dan hal itu malah akan semakin membuat rumit dan krusial. Pada posisi ini, apapun keputusan yang diambil, tidak akan menguntungkan, baik secara personal, kelembagaan, maupun pada nilai kemanfaatan (utility). Dari sini mungkin dapat dinilai kelayakan seseorang untuk menempati sebuah posisi politik dan atau hukum.
Terjebak Asumsi
Mengapa “publik” (kelompok yang asal bukan Budi Gunawan) terus menerus menunjukkan sikap resisten terhadap seorang Budi Gunawan? Bahwa seorang Budi Gunawan telah membuktikan dirinya tidak bersalah atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya, baik melalui proses di Bareksrim POLRI maupun praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Bagi “publik” itu belum cukup memberi jaminan bahwa Budi Gunawan memang “bersih”. Masih ada banyak hal yang perlu dijelaskan, baik melalui proses hukum yang benar dan transparan maupun oleh seorang Budi Gunawan sendiri. Karena itu, bagi “publik” ini, seberapa pun besarnya prestasi, kompetensi, dan kapabilitas Budi Gunawan, tidak harus dia yang dipercaya untuk memperbaiki citra POLRI sebagai institusi negara maupun lembaga penegak hukum. Bukan soal prestasi, kompetensi, dan kapabilitas, maupun akseptabilitas, tetapi lebih jauh dan tinggi adalah menyangkut etika dan moralitas. Budi Gunawan dianggap membawa “dosa”, yang karena itu dapat mengekang dan mengkerangkeng dirinya untuk melakukan upaya perubahan. Budi Gunawan akan dihinggapi penyakit ewuh pakewuh, karena terus menerus dibayangi perasaan akan dituding balik, bahwa dia juga tidak bersih-bersih amat. Budi Gunawan akan takut melangkah, khawatir ada yang akan meniup semprit, karena telah berada pada posisi offside. Pada posisi ini, akan timbul kegamangan, dilema yang tak berakhir.
Di pihak lain, perlu juga dipahami bahwa bisa jadi semua persepsi, penilaian, maupun kekhawatiran, itu, prematur. Bahkan mungkin pula itu hanya sebagai sebuah kemungkinan yang spekulatif. Bahwa seseorang karena “masa lalunya”, sehingga perlu diwanti-wanti untuk tidak diberi kepercayaan, tidak berarti hal itu menutup sama sekali peluang dia untuk bisa berbuat baik. Siapa yang bisa menjamin, bahwa seseorang yang masa lalu dan track record-nya sangat sempurna bersih, tetapi ketika diberi kepercayaan malah menjadikan sebagai sebuah kebanggaan, bukan sebagai amanah, bahkan malah melenceng. Sehingga bisa terjebak pada perangkap yang dia sadari maupun tidak diduga. Begitu pula, dengan seseorang yang diduga meski memiliki masa lalu dan track record yang buruk, tetapi pada titik balik, malah mampu membuat terobosan yang mencengangkan. Bisa jadi di sinilah posisi politik Budi Gunawan, di satu sisi ia ingin membuktikan bahwa semua persepsi, penilaian, maupun kehawatiran itu, tidak berdasar, juga pada sisi lain, bertanya bagaimana saya ingin membuktikan tentang dirinya, sementara semua akses dan kesempatan tidak diberikan dan malah ditutup sama sekali.
Jangan sampai kita, publik terjebak pada asumsi, bahwa Budi Gunawan memang tidak layak secara etika maupun moral. Padahal “ketidakbersihan” Budi Gunawan, baru sebatas asumsi dan dugaan. Sehingga menggunakan parameter etika dan moral untuk mengukur dan menilai “ketidakbersihan” berdasarkan asumsi dan dugaan adalah sebuah tindakan zhalim. Bahkan ada kelompok tertentu yang berbicara seakan-akan dia memiliki otoritas mutlak untuk menilai seseorang. Degan gampangnya memberi penilaian atas dasar prasangka, celakanya itu menurut versi kelompoknya, yang belum tentu benar (baca di sini).
Agama mengajarkan untuk mengedepankan sikap prasangka baik (husnuudzon) ketimbang prasangka buruk (su’udzon). Kita hendaknya berprasangka baik saja bahwa berdasarkan keputusan pengadilan Budi Gunawan memang tidak “bermasalah”, karena itu, tidak ada salahnya ia diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa memang dia tidak bermasalah. Lepas dari penilaian bahwa proses praperadilan itu menyalahi mekanisme dan prosedur perundang-undangan. Publik tinggal mengawal dan mengontrol agar dalam menjalankan kebijakan dan program-program perbaikan tetap berada pada jalur dan rambu-rambu yang benar.
Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 22 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H