Oleh : eN-Te
Cerita Awal
Tadi malam, Selasa (28/7/2015) ketika sedang menonton berita di salah satu TV Nasional, penulis membaca sebuah running text, yang berbunyi kira-kira seperti berikut, “KPK telah menetapkan pasangan suami istri, Gubernur Sumatera Utara (Sumut) menjadi tersangka dalam kasus suap Hakim PTUN Medan”. Kontan dalam hati penulis terbetik, akhirnya Sang Gubernur dan istri poligaminya “kena” juga. Segera setelah itu, penulis mencoba mengganti chnanel TV lain untuk mengkonfirmasi dan memastikan tentang kebenaran berita tersebut. Bahkan ada running text lanjutan dari salah satu channel TV yang menjelaskan bahwa pasangan suami istri Gubernur Sumut merupakan pasangan suami istri kelima yang ditetapkan menjadi tersangka dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK.
Tidak lama setelah itu, pemberitaan tentang penetapan tersangka Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho (PGN) dan istrinya disiarkan oleh beberapa TV Nasional. Beberapa media massa Nasional online maupun cetak kemudian memberitakan pula masalah tersebut. Melalui salah satu pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji, terkonfirmasi bahwa mulai hari Selasa (28/7/2015) telah diterbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) dengan menetapkan Gubernur Sumut, GPN dan istri keduanya, Evy Susanti (ES) sebagai tersangka (sumber).
Daftar Gubernur Yang Tersandung Kasus Korupsi
Penetapan Gubernur GPN menjadi tersangka menambah panjang daftar para Gubernur di Pulau Sumatera dalam kasus tindak pidana korupsi. Gubernur GPN merupakan orang kedelapan (ke-8) sebagai Gubernur di pulau Sumatera yang sedang aktif menjabat yang ditetapkan menjadi tersangka yang diduga terlibat kasus korupsi. Sebelumnya sudah ada tujuh Gubernur di Pulau Sumatera yang pernah menyandang status tersangka dan telah divonis penjara dalam kasus penggarongan kekayaan negara (lihat di sini).
Pada urutan pertama dalam daftar bertengger nama Abdullah Puteh, mantan Gubernur D. I. Aceh. Mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh ini ditetapkan menjadi tersangka dan didakwa kemudian divonis penjara 10 tahun dalam kasus korupsi pengadaan helikopter. Pada urutan berikutnya ada nama mantan Gubernur Bengkulu, Agusrin M. Najamuddin. Senasib dengan Abdullah Puteh, Agusrin juga telah divonis penjara di tingkat kasasi oleh MA, dan harus mendekam di balik terali besi selama empat tahun penjara, meski sebelumnya sempat divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat.
Menduduki urutan ketiga adalah mantan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Ismet Abdullah. Beliau juga telah divonis untuk menikmati hari-harinya di hotel prodeo selama dua tahun dalam kasus korupsi pengadaan mobil kebakaran (damkar). Selanjutnya menempati posisi satu strip di bawahnya, adalah mantan Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), Syahrial Oesman pada urutan keempat. Syahrial Oesman pun telah divonis penjara selama tiga tahun oleh MA dalam kasus korupsi Pelabuhan Tanjung Api-api.
Pada peringkat kelima ditempati oleh mantan Gubernur Riau, Saleh Djasit. Kasus yang sama yang telah menjerat mantan Gubernur Kepri, kasus korupsi pengadaan Damkar menimpa pula mantan Gubernur Riau. Atas kasus tersebut Saleh Djasit telah divonis Hakim Pengadilan Tipikor penjara selama empat tahun kurungan. Selain Saleh Djasit yang ketibang sial masuk hotel prodeo, Provinsi Riau juga mencatat salah seorang mantan Gubernurnya yang lain terlibat kasus korupsi dana PON 2012. Ironisnya Rusli Zainal merupakan penerus atau pengganti Saleh Djasit ketika didakwa dan divonis penjara. Ia adalah mantan Gubernur Rusli Zainal, dan telah pula divonis penjara serta berhak menduduki peringkat keenam dalam daftar para gubernur di Pulau Sumatera yang terlibat dan telah divonis dalam kasus pidana korupsi.
Gubernur di provinsi Sumatera yang juga terpaksa harus berurusan dengan kasus tindak pidana korupsi adalah mantan Gubernur Sumut, Syamsul Arifin. Senior dan mentor Gubernur GPN ini dipidana karena kasus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Langkat semasa ia menjabat sebagai Bupati. Syamsul Arifin telah divonis sampai di tingkat kasasi oleh MA selama enam tahun penjara dan berhak mengklaim posisi ketujuh dalam daftar.
Giliran berikutnya yang terpaksa maupun harus dipaksa masuk dalam daftar Gubernur Korup(tor) di Pulau Sumatera adalah GPN (bersama istrinya pula). GPN berhak mengisi kursi kosong berlabelkan koruptor dengan nomor kursi delapan. Jika pun terpaksa harus “disiapkan” pula kursi tambahan dengan label yang sama dalam daftar, kursi nomor sembilan, maka yang berhak menempati itu adalah sang istri tercinta, ES (istri poligami). Kondisi ini mengingatkan penulis pada sebuah ungkapan atau peribahasa lama, “sengsara membawa nikmat”, tapi dalam kasus Gubernur GPN, bukannya sengara membawa nikmat, tapi malah menjadi “nikmat membawa duka”.