Oleh : eN-Te
Kemarin, Republik Indonesia merayakan hari jadi yang ke-71 tahun. Sebuah rentang sejarah yang cukup panjang dalam membentuk karakter dan jati diri bangsa sebagai negeri yang bebas merdeka.
Di seluruh pelosok negeri, warga bangsa bersuka cita merayakan hari kemerdekaan negeri dengan berbagai rupa kegiatan. Mulai dari lomba-lomba yang bersifat tradisional sampai dengan acara-acara yang bernuansa “wah” di tempat-tempat yang penuh eksotisme dan ruang mewah. Semua itu dilakukan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan telah merasakan dan menikmati kebebasan selama 71 tahun dari penjajahan fisik oleh negeri imperealis dan kolonialis.
Meski secara fisik kita telah merdeka bebas dari negeri penjajah, tapi sesungguhnya secara kultural, ekonomi, teknologi, dan mungkin pula pemikiran (mental), kita masih “terjajah”. Dan ini fakta yang sampai hari ini masih sangat terasa, ketika kita merayakan kemerdekaan yang sudah memasuki usia negeri yang ke-71 tahun.
Tengoklah dalam hal pengangkatan pejabat tinggi negara setingkat menteri. Di sana ada “peristiwa” yang memberikan indikasi bahwa ternyata sampai hari ini kungkungan mental itu belum merdeka bebas secara tuntas.
Ketika seorang Presiden merasa perlu mengangkat seseorang untuk menempati salah satu posisi menteri pada kabinetnya, masih saja ada riak-riak yang menggambarkan pertarungan dalam memperebutkan kuasa. Meski penunjukkan seseorang untuk menempati posisi menteri itu sudah melalui sebuah proses sesuai ketentuan undang-undang. Katakanlah hal itu berkaitan dengan hak prerogatif seorang Presiden. Tentu saja tanpa mengabaikan kriteria pokok dan utama, yakni 2K dan 1A dengan memperhatikan kompetensi, kapabilitas, dan akseptabilitas.
Bahwa meski seseorang yang akan ditunjuk dan diangkat menempati posisi menteri tertentu, apalagi posisi menteri sangat seksi, sudah melalui proses dengan memperhatikan tiga kriteria pokok di atas, yakni 2K dan 1A (kompetensi, kapabilitas, dan akseptabilitas), tidaklah berarti hal itu kemudian secara otomatis terhindar dari polemik dan kontroversi.
Kasus mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar dapat menjadi contoh kasus bagaimana negeri ini menghargai “kebebasan”. Independensi seorang Presiden karena hak prerogatif kemudian menunjuk dan mengangkat seseorang menjadi salah satu anggota kabinetnya, terpaksa harus tunduk pada realitas politik kekinian. Presiden terpaksa harus mencopot seorang Arcandra Tahar dari posisinya sebagai Menteri ESDM, karena terpaan isu tentang status kewarganegaraannya. Ironisnya, isu berhembus berawal dari sebuah cuitan di Whatsapp (WA).
Polemik dan kontroversi pun meruak, hingga akhirnya Presiden mengambil sikap harus mencopot Arcandra Tahar.
Memang secara konstitusi seseorang tidak boleh ditunjuk dan diangkat menjadi menteri, bila yang bersangkutan telah menyatakan sumpah dan ikrar setia kepada negara lain. Pada saat seseorang warga negara yang telah dengan kemauan sendiri bermohon untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara lain dan telah mengangkat sumpah dan memberikan janji setia, maka kewarganegaraan Indonesia-nya gugur dengan sendirinya.
Demikian pula dengan seorang Arcandra Tahar. Sejak ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS), hingga kemudian “dipanggil pulang” oleh Presiden Jokowi dan ditunjuk dan diangkat sebagai Menteri ESDM, Arcandra Tahar sudah bermukim lama di AS. Mungkin karena beberapa pertimbangan sehingga seorang Arcandra Tahar merasa perlu memiliki paspor AS.