Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Amel Alvi Membantah, Dia Bukan “Pelacur”

12 Mei 2015   11:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14314186002028282585

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_416923" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Terungkapnya praktek prostitusi online yang melibatkan para artis sebagai pemeran utama membuka tabir tentang pekerjaan sampingan (side job) yang dilakoni para artis di samping pekerjaan utamanya di dunia hiburan. Malah saya menduga bahwa pekerjaan “pelacur” kelas atas ini lebih merupakan pekerjaan utama dibanding pekerjaannya sebagai artis. Lihat saja mereka-mereka yang mengaku artis dan sering memamerkan kekayaannya di depan publik (melalui TV) seakan tidak memiliki rasa risih apalagi malu tanpa melihat “kepantasan” dirinya sebagai artis. Job sepi, populer tidak, tapi kok kekayaannya melebihi kaum jetset.

Dalam dunia pertenunan, takhayul, mistik, perdukunan, dan sebagainya dengan berbagai variasi aksesoris yang melingkupinya, praktek memperkaya diri dengan jalan pintas berkolaborasi dengan “makhluk halus” (tuyul, dedemit, babi ini babi itu, dan yang sejenis lainnya) seakan menjadi hal yang lumrah. Apalagi (mayoritas) masyarakat Indonesia dengan budaya sinkretis yang kental, mental menerabas, sebagai mana Muchtar Lubis menyebutnya, ingin kaya dengan jalan pintas menjadi hal yang digandrungi. Termasuk pula  “menjual” diri.

Paradigma ingin kaya dengan jalan pintas tidak hanya menjadi monopoli orang-orang dengan keterbatasan sumber daya (ekonomi, sosial, pendidikan), tapi juga merambah sampai kepada kelompok yang menganggap diri sebagai berpengetahuan. Maka tak heran, para artis pun tak ketinggalan mencoba mereguk kenikmatan itu dengan memanfaatkan kemolekan tubuhnya untuk bisa merasakan lezatnya mempunyai “sesuatu”.

***

Di tengah kegemparan publik terhadap pengungkapan prostitusi online yang melibatkan para artis (aktris dan aktor), merebak pula bantahan Amel Alvi terhadap inisial AA yang diasosiasikan kepada dirinya. Menurut sang artis ini bahwa inisial AA bukan hanya tertuju pada dirinya, karena banyak artis lain juga memiliki inisial AA yang sama. Dengan demikian, artis dengan inisial AA yang ditangkap polisi bersama germonya, RA, - sedang akan menjajakan diri, -  bukanlah dirinya. Meski banyak foto ketika dibawa ke dan di kantor polisi mengonfirmasi bahwa itu adalah orang yang sama atau paling tidak mirip dengan dirinya. Setali dengan tiga uang, polisi pun bersikap diam untuk mengonfirmasi siapa artis dengan inisial AA. Begitu pula terhadap bantahan Amel Alvi, polisi pun tidak menyanggahnya.

Menurut pihak kepolisian, seperti disampaikan Kasat Reskrim Polresta Jakarta Selatan, AKBP Audi Latuheru (Mengungkap Tabir, TV One, Senin malam, 11/05/2015), bahwa pihak kepolisian tidak harus menjawab atau mengonfirmasi inisial AA yang ditangkap bersama germonya, RA, dan juga inisial-inisial artis yang diduga mempunyai side job sebagai “pelacur” sebagaimana dilansir beberapa media. Polisi merasa tidak berkewajiban untuk memenuhi hak ingin tahu masyarakat (publik) terhadap kasus yang sedang diungkap/ditangani. Padahal menurut undang-undang pers, masyarakat (publik) berhak tahu atas suatu peristiwa (mulai dari awal kejadian sampai akhir). Karena melalui media (pers) polisi hendaknya berkewajiban untuk “memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui” (pasal 6 ayat (a) UU Pers). Tidak seharusnya polisi berlindung di balik praduga tidak bersalah sehingga tidak memberitahukan kepada masyarakat atas kasus yang sedang ditangani. Termasuk juga polisi tidak boleh mengelak ketika masyarakat (publik) ingin tahu siapa yang dimaksud dengan inisial dari seseorang yang sedang diperiksa.

Malah ada yang aneh yang perlu juga dicermati dari cara penanganan kasus pelacur kelas atas ini oleh polisi. Dari media televisi, polisi hanya memperlihatkan ke publik sang germonya, sedangkan sang artis, dengan alasan hanya sebagai saksi, disembunyikan. Bukan saja tidak diekspos secara fisik, bahkan menyangkut inisialnya pun polisi enggan membeberkan nama aslinya. Entah atas pertimbangan apa, polisi seakan fobia untuk membuka profil atau nama asli dari sang artis ini. Padahal masyarakat (publik) ingin mengetahui siapa sesungguhnya sang artis untuk selanjutnya dapat membandingkan dengan track record-nya dalam dunia hiburan Tanah Air selama ini.

Beda halnya dengan pengungkapan kasus prostitusi online yang menyebabkan “pelakunya” terbunuh beberapa waktu lalu. Sebut saja kasus Tata Chubby, meski korbannya sudah meninggal dunia, polisi tak segan menyebut dan mengungkap nama sebenarnya. Seharusnya dengan alasan untuk menjaga privasi seseorang dan berlindung di balik praduga tak bersalah, Tata Chubby, yang sudah menjadi korban pembunuhan juga harus dilindungi. Nah ini, artis yang berinisial AA, jelas-jelas ditangkap pada saat melakukan praktek menjual diri, malah diperlakukan secara istimewa, dilindungi privasinya, disembunyikan identitas sebenarnya dari rasa ingin tahu (penasaran) masyarakat.

***

Sikap polisi yang tidak ingin membeberkan identitas sebenarnya dari sang artis yang ditangkap sedang melaksanakan praktek profesionalnya menjajakan diri, telah dimanfaatkan dengan baik oleh artis Amel Alvi untuk membersihkan nama baiknya. Dengan alibi bahwa artis dengan inisial AA bukan hanya dirinya semata, dengan bangga dia melakukan klarifikasi melalui Twitter-nya. Amel Alvi berhak untuk menjaga dan mempertahankan citra dirinya. Termasuk melakukan klarifikasi terhadap berita miring yang sedang berkembang, apalagi berita-berita yang cenderung bersifat merusak (destruktif). Persoalannya adalah mengapa Amel Alvi tidak melakukan klarifikasi secara langsung dengan mengadakan jumpa pers untuk menjelaskan duduk persoalannya? Karena itu patut pula dicermati, bahwa jangan sampai klarifikasi itu hanya sebagai modus atau akal-akalan untuk terhindar dari sanksi sosial.

Dengan memanfaatkan sifat masyarakat kita yang cenderung pemaaf, sehingga setelah berjalan beberapa waktu, perilaku negatif dari seorang artis dilupakan begitu saja. Maka tak heran, artis-artis yang pernah terlibat dalam sebuah tindakan asusila kembali eksis di dunia entertain. Bahkan dengan tanpa beban tampil di depan publik mempertontonkan sikap-sikap hedonis dan permisif jauh dari nilai-nilai agama, sosial, dan adat ketimuran.

Lepas dari sisi persaingan dalam dunia hiburan yang sangat ketat, sehingga memaksa seseorang calon artis maupun artis harus terpaksa terjebak dalam dunia hitam untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan pintas, menjual diri, mestinya masyarakat juga harus mengembangkan fungsi kontrol. Harus diakui bahwa praktek prostitusi yang kemudian melibatkan pula para artis yang sepi order, adalah implikasi dari melonggarnya sanksi sosial. Sanski sosial sebagai fungsi kontrol setiap perilaku individu dalam menunjang hadirnya (ke) tertib (an) sosial semakin hari semakin tak berfungsi. Maka tak heran perilaku semau gue, asal memperoleh keuntungan (apalagi berupa finansial) menjadi motif utama seseorang melanggar norma. Hidup di perkotaan dengan tingkat persaingan yang sangat ketat, memaksa masyarakat urban, tidak mau tahu urusan orang lain, bersikap masa bodoh, sepanjang kepentingannya tidak terganggu.

Sikap masa bodoh terhadap lingkungan (sekitarnya) semakin membuka ruang bagi orang-orang yang bermental terabas. Asal bisa memberi keuntungan (finansial), apapun dilakukan demi memenuhi syahwat dan libido materialistisnya. Soal pahala dan dosa adalah urusan individu masing-masing. Di persimpangan jalan inilah Amel Alvi mencoba mereguk keuntungan.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 12  Mei  2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun